Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Cerita Sopir Bajaj Bertahan di Tengah Gempuran Ojol: Demi Anak Bisa Kuliah di Mesir

Suparjo Ramalan , Jurnalis-Jum'at, 03 Mei 2024 |10:25 WIB
Cerita Sopir Bajaj Bertahan di Tengah Gempuran Ojol: Demi Anak Bisa Kuliah di Mesir
Sopir Bajaj Bertahan di Tengah Gempuran Ojol: Demi Anak Bisa Kuliah di Mesir (Foto: MPI)
A
A
A

JAKARTA - Sholihin (43 tahun), sopir bajaj bolak-balik menatap ke arah gerbang atau akses keluar-masuk Blok M Square, Jakarta Selatan berharap bisa mengantar seorang penumpang ke tempat tujuan.

Cukup lama Sholihin menghabiskan waktu mangkalnya di kawasan Blok M Square, namun belum ada penumpang yang menggunakan jasanya, padahal lokasi tersebut ramai dikunjungi warga.

Tidak banyak yang dilakukan lelaki asal Tegal, Jawa Tengah (Jateng) itu dari dalam bajaj, selain menoleh ke arah orang-orang yang keluar dari pusat perbelanjaan. Raut wajahnya tampak lelah, namun dia harus bertahan.

Belakang ini, pendapatan Sholihin anjlok secara signifikan. Inti persoalannya mayoritas warga memilih atau beralih memakai ojek online (ojol) dan moda transportasi umum lain yang lebih modern dan nyaman.

Dia tak menafikan bahwa bisnis bajaj kalah saing dengan ojol. Sarana transportasi berbasis aplikasi online kian membunuh mata pencaharian utamanya.

“Kalau dulu belum ada saingan, belum ada ojol sama online lah, semenjak ada online ya pengaruhnya parah sih, ojol sama mobil (taksi online),” ucap Sholihin kepada MNC Portal ketika ditemui di lokasi, Kamis (2/5/2024) malam.

Hingga larut malam total income yang masuk ke kantong hanya mentok Rp150.000-Rp200.000, nilainya pun tergantung situasi. Belum lagi Sholihin harus menyetor ke pemilik bajaj sebesar Rp30.000, di luar biaya operasional dan konsumsi.

Sehingga, pendapatan bersih yang diperoleh Sholihin tidak seberapa. Dia mengaku, sebelum ojol menggempur bajaj, pendapatan pria tak berambut itu bisa menyentuh Rp500.000 dalam sehari.

“Paling Rp150.000 sampai Rp200.000, dari pagi ketemu malam, jam 12-an, jam 12 udah sepi sih, udah enggak ada kegiatan. (Dahulu) sehari rata-rata bisa dapat Rp500.000, penghasilan, tapi memang setoran mahal kalau dulu,” katanya.

 

Bertahan karena Kebutuhan Keluarga dan Pendidikan Anak

Sholihin memilih bertahan sebagai sopir bajaj, kendati pekerjaan yang ditekuninya selama 10 tahun ini berada di ujung tanduk.

Bukan tak mau pindah profesi, perkara mencari pekerjaan di kota metropolitan seperti Jakarta bukan hal yang mudah. Apalagi, dia terkendala ijazah pendidikan tinggi.

Karena itu, lelaki berkulit sawo matang ini masih harus mengarungi lalu lintas Jakarta Selatan agar bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan pendidikan anaknya. Kebutuhan sandang, pangan, dan papan menjadi tanggung jawab seorang ayah.

Sholihin menuturkan, dia harus banting tulang untuk bisa membayar sewa kontrakan dan menghidupi kedua anaknya. Dirinya memang sudah lama pisah dengan sang istri, namun kewajiban terhadap anak tetap dipenuhi.

Anak pertama misalnya, masih menempuh pendidikan SMA di salah satu pesantren di Magelang, Jateng. Sholihin mengaku, biaya pendidikan anak perempuannya ini mencapai Rp1,7 juta dalam sebulan.

“Bayar kontrakan Rp500.000 per bulan, kalau anak saya mondok ya, sebulan bisa Rp1,7 juta,” ucapnya.

Kendati berkecukupan, tidak mengurangi niat Sholihin membawa sang buah hati untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Mesir. Baginya, pendidikan bisa merubah situasi ekonomi keluarga di masa mendatang.

“Alasannya, karena bapaknya udah bodoh, anak jangan lah, jangan kayak orang tuanya, tapi cita-cita orangtuanya, bapaknya pokoknya tetap pengen anak sukses kan.

Kalau saya sebagai orangtua harus mendukung anak biar kuliah sampai di luar, kita doa sambil usaha, mudah-mudahan ya, namanya juga kita orang kecil ya berdoa sama usaha, cita-cita anak itu sampai kuliah di Mesir,” beber dia bersemangat.

(Dani Jumadil Akhir)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita edukasi lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement