JAKARTA - Remaja dan mahasiswa rentan mengalami depresi. Era media sosial dan digital membuat angka bunuh diri dan gangguan jiwa di kalangan remaja meningkat.
Dalam riset kesehatan jiwa RI terungkap kondisi gangguan jiwa tertinggi tahun 2000-2019 di Indonesia disebabkan karena depresi, gangguan cemas, skizofrenia. Angka bunuh diri tahun 2019 sebanyak 6.544 kasus. Perempuan 1.448 kasus, laki-laki 2.000 sekian.
Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa dr. H. Marzoeki Mahdi Nova Riyanti Yusuf mengatakan pihaknya mengarahkan supaya remaja-remaja ini menjadi versi terbaik dari diri mereka, bukan didikte dari medsos, dari ekspektasi yang datang bukan dari dirinya. Angka prevalensi depresi 6,1 persen.
“Data WHO menunjukkan 1:7 untuk orang di seluruh dunia mengalami gangguan jiwa, termasuk remaja,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan PKJN RSJMM bersama Cempaka Study Club didukung Meeting.ai, Senin (30/10/2023).

BACA JUGA:
Menurutnya, Indonesia belum punya data bunuh diri secara detail, atau national suicide registry. Peraturan RI masih ambigu.
“Jadi kita tidak bisa klaim BPJS untuk orang-orang yang mengalami percobaan bunuh diri karena mereka dianggap menyakiti diri sendiri, sehingga belum bisa di-cover JKN. Kasusnya sama dengan penyalahgunaan Napza. Ini sedang kita berproses ke depannya,” ujarnya.
Saat ini Kemenkes, kata dia, sedang berusaha melakukan perubahan. Jika tidak bisa 100 persen di-cover BPJS, minimal tapi ada kalimat jika terbukti ada diagnosis gangguan jiwa (saat melakukan percobaan bunuh diri), berarti bisa dicover.
“Karena biasanya yang ditulis cuma lukanya. Iritasi, self harm. Jadi tidak disebutkan alasan apa yang membuat mereka itu melakukan percobaan bunuh diri,” ujarnya.
BACA JUGA:
Data Pelajar Bunuh Diri
Di Jakarta per 2019, ada 910 pelajar SMA/SMK sekitar 13,8 persen berisiko tinggi punya ide bunuh diri. Penyebabnya biasanya karena berbagai hal yaitu:
- Loneliness (kesepian),
- Lalu merasa menjadi beban
- Keinginan menjadi sesuatu
- Merasa tidak ada harapan.
“Saya curiganya angkanya naik sekarang. Ini data saya tahun 2019,” katanya.
Anggaran kesehatan jiwa masih stabil, 2 persen untuk di Indonesia. Per 2019, Indonesia masuk suicide penyebab kematian nomor 16 tertinggi di Indonesia karena bunuh diri yakni ada 7.658 kasus menurut IHMI.
“Makanya, saya diminta untuk membuat road map. Karena Indonesia no data. Kalau data polisi: Tahun 2021- 2022. Provinsi Jateng paling tinggi kasus bunuh dirinya. Ada 380 kasus di tahun 2022,” katanya.
Secara nasional, bunuh diri rata-rata dilakukan di rumah. Tapi ada juga yang dilakukan di tempat lain.
Apa yang sudah dilakukan pemerintah?
Yaitu membangun UU Kesehatan Nomor 17 tahun 2023: Pasal 75 ayat 2, upaya kesehatan jiwa termasuk upaya pencegahan bunuh diri. Dengan cara pencegahan faktor risiko bunuh diri dan mencegah pikiran self harm dan bunuh diri
“Pertama, batasi akses ke alat-alat yang digunakan untuk bunuh diri. Jadi ketika kita tahu pasien gatal lihat pisau dan benda tajam, kita bilang ke keluarga pasien untuk berusaha agar alat itu disingkirkan, termasuk di RS. Tempat pasien berada harus aman. Berinteraksi dengan media, memberitakan secara bertanggung jawab. Judul berita jangan men-trigger orang,” ucapnya.
Tanggapan Kemendikbudristek
Plt Dirjen Dikti Kemendikbudristek Nizam menegaskan pihaknya terus berupaya membangun satuan pendidikan dan kampus sehat, aman, nyaman secara holistik. Menurutnya, self esteem, mencakup gerakan kesehatan terutama perlu sehat secara fisik, sehat, aktivitas akademik, istirahat.
“Sehat intelektual, sehat emosional sangat penting untuk psikologis. Kesehatan jiwa urusan psikolog saja? Enggak, itu kebutuhan kita semua, kita lakukan bersama-sama. Saling peduli, termasuk di kampus. Teman diajak ngobrol, bagian dari kesehatan psikologis,” kata Nizam.
Secara psikologis, kata dia, suasana budaya saling asuh diciptakan di lingkungan kampus. Maka dia berharap tidak ada lagi cerita mahasiswa dan dosen sampai depresi.
“Stigma, karena kita punya kesadaran masyarakat yang saling peduli. Dari regulasi untuk kampus sudah kita wujudkan, masyarakat kampus sadar bersama-sama, bukan hanya tugas satgas, rektor,” ujarnya.
BACA JUGA:
Dia mengakui saat ini generasi muda 90 persen lebih sering berada di dunia virtual. Dan medsos itu kadang-kadang mengerikan.
“Karena algoritma di medsos apa yang jadi kekhawatiran kita. Sehingga itu mengubah, mempengaruhi sikap dan memperbesar apa yang di pikiran kita,” ujarnya.
Kurangnya interaksi sosial dengan manusia membuat seseorang rentan mengalami depresi. “Itu salah satu penyebab munculnya depresi, gangguan psikologis. Ini yang patut kita sadari, hubungan manusia, komunikasi. Sebab kalau bicara gen-z, saya melihat mereka lebih adaptif tentang perubahan, kita bisa kejar dari berbagai macamnya. Yang penting kesadaran berbagai macamnya. Itu sangat secara sadar menghadapi beradaptasi dengan hal-hal tadi. Kita harus saling komunikasi, saling peduli, sangat penting di kampus,” kata Nizam.
(Marieska Harya Virdhani)