JAKARTA - Beberapa pekan terakhir, publik dikejutkan dengan berita tentang beberapa mahasiswa yang dikabarkan bunuh diri. Saat mendengar teman atau lingkungan kita ingin bunuh diri, jangan pernah menganggap hal itu sekadar bercanda.
Berdasarkan informasi yang disajikan di media, sebelum kejadian mereka pernah menyampaikan pada orang-orang di sekitar bahwa mereka memiliki masalah atau butuh bantuan. Bahkan ada pula yang sudah sempat melakukan upaya mengakhiri hidup hingga mendapat pendampingan khusus dikutip Senin (23/10/2023).
Menurut WHO tahun 2019, bunuh diri merupakan masalah kesehatan mental dan penyebab kematian keempat pada kelompok usia 15-29 tahun di seluruh dunia. Dibanding negara maju, risiko bunuh diri pada anak muda di negara berkembang seperti Indonesia, ternyata jauh lebih tinggi menurut penelitian Lovero, tahun 2023. Sayangnya, tidak diketahui pasti persentase kasus bunuh diri pada anak muda di negara berkembang. Selain buruknya pencatatan, stigma negatif terkait bunuh diri membuat kasus-kasus semacam ini cenderung menjadi rahasia yang harus ditutup rapat oleh keluarga.
Penelitian Lovero dan kawan-kawan tahun 2023 menunjukkan bahwa faktor risiko bunuh diri pada anak muda bisa berasal dari berbagai macam faktor. Pertama, dari diri sendiri, seperti adanya masalah kesehatan mental, kemiskinan, pendidikan rendah, masalah akademik, pengalaman buruk di masa kecil, dll. Faktor risiko selanjutnya terkait hubungan dengan orang lain, seperti konflik dalam keluarga, mengalami perundungan atau kekerasan dari teman, masalah dalam hubungan romantis, dll. Sedangkan faktor lainnya adalah pemicu yang terjadi di komunitas, contohnya kekerasan di masyarakat, tidak tersedianya layanan kesehatan mental, dan lainnya.
BACA JUGA:
Meskipun bukan satu-satunya, namun masalah kesehatan mental sangat mungkin menjadi pemicu timbulnya keinginan bunuh diri pada kelompok usia muda. Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO tahun 2023, 1 dari 7 remaja berusia 10-19 tahun di dunia mengalami masalah kesehatan mental. Hasil penelitian pada remaja di Indonesia menunjukkan bahwa dalam 12 bulan terakhir, 1 dari 3 remaja di Indonesia mengeluhkan masalah kesehatan mental. Bahkan, 1 dari 20 remaja sudah mengalami gangguan kesehatan mental, dengan gangguan kecemasan sebagai hal yang paling sering dirasakan, menurut I-NAMHS, tahun 2022.
Masalah-masalah kesehatan mental yang tak terselesaikan akan meningkatkan risiko bunuh diri pada kaum muda, termasuk mahasiswa. Persoalannya, tak selamanya mahasiswa mampu menyelesaikan sendiri masalahnya, sementara bantuan juga tak selalu ada. Entah karena sumber bantuan memang tidak tersedia, mereka tidak mencari bantuan karena tidak menyadari adanya masalah, atau tidak tahu cara mengakses bantuan. Penelitian yang dilakukan oleh BEM Fakultas Psikologi UI tahun 2019 menunjukan 84,7% mahasiswa UI mengetahui adanya layanan konseling di kampus, namun 30,1% di antaranya belum mengetahui lokasi layanan tersebut. Penelitian serupa yang dilakukan pada tahun 2021 bahkan menunjukkan bahwa 58,9% mahasiswa tidak mengetahui cara menghubungi layanan kesehatan mental di kampus.
Berdasarkan berbagai paparan di atas, dapat terlihat betapa peliknya masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Terkait risiko bunuh diri, dengan mempertimbangkan berbagai sumber masalah yang ada dan keterbatasan bantuan profesional yang tersedia, maka cara yang efektif untuk mencegahnya adalah dengan melibatkan orang-orang di sekitar mahasiswa; baik keluarga, teman, ataupun dosen pengajar.
Berikut ini adalah hal-hal yang dapat dilakukan ketika ada orang di sekitar kita yang sedang mengalami masalah:
1. Perhatikan orang-orang di sekitar kita, beri perhatian lebih pada mereka yang menunjukkan perubahan perilaku. Orang yang sedang bermasalah seringkali tidak secara langsung menceritakan masalahnya pada orang lain. Namun mereka sering kali menunjukkan perubahan perilaku. Misalnya menarik diri, menjadi lebih pendiam, tidak mengerjakan tugas, atau sering membolos kuliah.
2. Luangkan waktu untuk mendengarkan cerita dari orang yang sedang memiliki masalah. Seseorang yang sedang dalam masalah terkadang ingin bercerita pada orang lain. Mungkin bukan untuk meminta solusi, melainkan sekadar membagikan isi kepala atau perasaannya.