JAKARTA - Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Irma Melyani Puspitasari, MT, PhD, memperkirakan, total estimasi biaya langsung tahunan untuk gangguan kesehatan jiwa di Indonesia sebesar Rp87,5 triliun atau sekitar USD6,2 miliar.
Hal tersebut disampaikan Prof Irma saat menjadi pembicara pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Profil dan Biaya Pengobatan Gangguan Kesehatan Jiwa di Indonesia” yang dilaksanakan Dewan Profesor Unpad secara daring, Sabtu (27/5/2023).
Prof Irma memaparkan, angka tersebut merupakan estimasi prevalensi gangguan kesehatan jiwa, mencakup gangguan skizofrenia, bipolar, depresi, dan gangguan kecemasan selama setahun. Perkiraan biaya langsung tahunan untuk skizofrenia sebesar Rp1,5 triliun, gangguan bipolar Rp62,9 triliun, depresi Rp18,9 triliun, dan gangguan kecemasan Rp4,2 triliun.
Pada 2018, sekitar 470 ribu orang di Indonesia mengalami skizofrenia. Selanjutnya, gangguan bipolar, depresi, dan gangguan kecemasan dialami oleh sekitar 19 juta orang di Indonesia. Dengan asumsi semua pasien mematuhi perawatan medis dalam setahun.
Dalam penelitian yang dilakukan Prof Irma dan tim pada 2020, didapatkan hasil biaya rata-rata pengobatan skizofrenia untuk satu tahun sekitar Rp3,3 juta. Sementara untuk gangguan bipolar sekitar Rp17,9 juta, depresi sekitar Rp1,6 juta per tahun, dan gangguan kecemasan Rp1,1 juta.
Estimasi penghitungan ini didasarkan pada Burden of Disease (BOD) atau cost of illness. Pada studi cost of illness ada beberapa biaya yang dapat diikutsertakan, yaitu biaya langsung, biaya tidak langsung, dan biaya intangible.
“Biaya langsung biasanya berupa biaya obat, biaya konsultasi dokter, dan biaya administrasi. Biaya tidak langsung itu kerugian produktivitas karena tidak bekerja dan juga ada biaya intangible,” jelas Prof Irma.
Namun, estimasi biaya kesehatan jiwa ini sebenarnya akan lebih rendah karena tidak semua individu dengan gangguan jiwa di Indonesia mencari pertolongan untuk kondisinya atau patuh berobat. Data Riskesdas melaporkan, hanya sembilan persen pasien depresi di Indonesia yang mendapatkan pengobatan.
“Hal ini mungkin terjadi karena pengetahuan tentang kesehatan jiwa yang kurang baik, sikap negatif terhadap pengobatan, efek samping pengobatan, efek terapeutik yang buruk, serta adanya stigma di masyarakat,” kata Prof Irma.