Share

Tak Banyak yang Tahu, Tokoh Kunci Kekuasaan di Madura Adalah Perempuan

Solichan Arif, Koran Sindo · Rabu 15 Maret 2023 14:14 WIB
https: img.okezone.com content 2023 03 15 624 2781543 tak-banyak-yang-tahu-tokoh-kunci-kekuasaan-di-madura-adalah-perempuan-Ao3iN2Ramm.jpg Ilustrasi peperangan Kerajaan Mataram/Okezone

BLITAR - Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan Kerajaan Mataram Islam, ada dua dinasti penguasa yang pernah memerintah pulau Madura, Jawa Timur yang jejaknya masih terlihat hingga kini.

Yakni dinasti Cakraningrat yang menguasai wilayah Madura Barat (terpusat di Sampang) dan dinasti Cakranagara di wilayah Madura Timur (terpusat di Sumenep).

Namun yang tidak banyak diketahui, berjalannya dinasti kekuasaan di Madura, terutama di wilayah Timur, ditentukan oleh kepemimpinan seorang perempuan.

Munculnya jejak perempuan sebagai penentu kekuasaan di Sumenep Madura berawal dari peristiwa meninggalnya Tumenggung Yudanagara pada tahun 1684.

Yudanagara merupakan penguasa pertama Kadipaten Sumenep. Saat mangkat, ia tidak memiliki anak laki-laki, karena keempat anaknya semuanya perempuan. Sesuai ketentuan adat, perempuan dilarang naik tahta, tapi bisa menjadi wali.

“Jika tidak ada penerus laki-laki, maka putri mendiang raja dapat menjadi wali dan saluran kekuasaan sang raja, tetapi dia sendiri tidak boleh secara resmi naik takhta,” demikian dikutip dari buku Wali Berandal Tanah Jawa (2109).

Follow Berita Okezone di Google News

Keempat putri Yudanagara telah menikah, dan sesuai adat, putri sulung, yakni Raden Ayu Artak yang memiliki kewenangan menentukan suksesi kekuasaan yang diwariskan ayahnya.

Raden Ayu Artak kemudian meletakkan Pangeran Panji Pulangjiwa, suaminya ke atas takhta Kadipaten Sumenep. Pulangjiwa lahir dari golongan bangsawan rendahan.

Pulangjiwa menegaskan sebagai penguasa Madura Timur sekaligus menolak berbagi kekuasaan dengan saudara-saudara iparnya. Untuk melegitimasi kekuasaannya ia mencari restu kepada VOC Belanda dan penguasa Mataram di Kartasura, Jawa Tengah.

Semasa pemerintahannya, Pulangjiwa yang meninggal dunia tahun 1702, sempat berselisih dengan Cakraningrat II, penguasa wilayah Madura Barat. Cakraningrat berambisi mencaplok kembali wilayah Sumenep.

Sepeninggal Pulangjiwa, takhta Kadipaten Sumenep kembali mengalami kesulitan suksesi. Pulangjiwa tidak memiliki anak laki-laki. Kendati demikian, putrinya yang bernama Raden Ayu Gambrek atau Raden Ayu Cakranagara memiliki kemampuan dan sekaligus berwatak tangguh.

Raden Ayu Cakranagara yang saat itu belum menikah kemudian mencari suami. Yang ia pilih adalah jajaran bangsawan rendahan yang masih kerabat. Dipilihlah Pangeran Rama yang masih terhitung sepupu.

Oleh Raden Ayu Cakranagara, suaminya dinobatkan sebagai Adipati Sumenep dengan gelar Cakranagara I. Pada tahun 1705, suaminya yang notabene Adipati Sumenep diceraikan.

Perceraian itu sekaligus diikuti dengan pelepasan takhta, karena tidak berselang lama Cakranagara I meninggal dunia. Ada dugaan kuat Cakranagara I sengaja dihabisi.

Sementara dari pernikahan mendiang Cakranagara I dengan Raden Ayu Cakranagara dikaruniai seorang putra laki-laki yang diberi nama Pangeran Jimat.

Pada saat Pangeran Jimat masih kecil, Raden Ayu Cakranagara menikah lagi dengan Raden Suderma yang juga masih terhitung sepupu. Raden Suderma dianugerahi kedudukan sebagai Adipati Sumenep.

Sebagai penguasa, Suderma salah sangka. Ia pikir bisa menjalankan kekuasaan sekehendak hatinya, dan itu tidak disukai oleh istrinya, yakni Raden Ayu Cakranagara. Pada tahun 1707 Pangeran Suderma dihabisi. Ia diduga telah diracun.

Raden Ayu Cakranagara memerintah Kadipaten Sumenep dengan membiarkan takhta tetap kosong. Ia menjadi wali putranya (Pangeran Jimat) yang masih kecil. Raden Ayu Cakranagara meninggal dunia pada tahun 1711.

Sepeninggal ibunya, Pangeran Jimat menunggu sampai umur 20 tahun, yakni tahun 1721 baru menyandang gelar resmi Cakranagara II. Sampai mangkat pada tahun 1737, Pangeran Jimat tidak pernah menikah dan tidak dikaruniai keturunan.

Penerus takhta Kadipaten Sumenep, yakni Cakranagara III merupakan putra saudara perempuan Pangeran Jimat. Pada saat terguling pada 1751, Cakranagara III juga diketahui tidak memiliki keturunan laki-laki.

Kekuasaan diambil alih saudara perempuan Pangeran Jimat yang lain, yakni Raden Ayu Tirtanagara. Perempuan yang dikenal tangguh itu memerintah Sumenep selama empat tahun tanpa pelantikan resmi.

Kemudian, berawal dari sebuah mimpi, Raden Ayu Tirtanagara datang ke pedesaan. Ia memaksa seorang laki-laki yang sedang menyabit rumput untuk pakan ternak, menjadi suaminya.

Raden Ayu Tirtanagara tidak peduli laki-laki itu sudah beranak istri. “Dia (Raden Ayu Tirtanagara) memerintahkan laki-laki itu untuk ikut kembali bersamanya ke istana, lalu dinikahinya”.

Laki-laki itu bernama Muhammad Saod. Oleh Raden Ayu Tirtanagara, Saod didudukkan sebagai Adipati Sumenep yang kemudian dikenal sebagai Tumenggung Tirtanagara.

1
3
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini