JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan telah mengukuhkan Pengurus Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BPMS) Provinsi DKI Jakarta dan Pengurus BPMS Kota se-DKI Jakarta di Balai Agung, Balai Kota, Jakarta Pusat, kemarin.
Anies meminta agar perguruan atau sekolah-sekolah swasta ikut terlibat dalam menyiapkan warga Jakarta sebagai bagian dari kota Global.
Terlebih, pada puncak perayaan Jakarta Hajatan pada hari Sabtu yang lalu, Anies mengukuhkan Jakarta sebagai kota global.
“Saya minta Bapak dan Ibu untuk menyiapkan anak-anak kita sebagai bagian dari kota global, artinya anak-anak harus menyadari bahwa mereka merupakan warga Jakarta, Indonesia dan dunia. Sehingga, kompetensi di sekolah-sekolah swasta harus dapat memenuhi target untuk menjadi warga global,” kata Anies dalam keterangannya.
Diketahui, dari data mutu pendidikan yang dipaparkan oleh BMPS, sebanyak 10% sekolah swasta berada di tingkat atas, 30% di tingkat menengah dan 60% masih di tingkat bawah.
Oleh sebab itu, Anies ingin agar 60% sekolah swasta yang berada di tingkat bawah dapat naik kelas, sehingga kualitas pendidikan untuk seluruh anak Jakarta dapat setara.
.
“Untuk mencapai itu, tinggikan ekspektasi, sehingga ada effort lebih untuk meraihnya. Mari kita angkat yang 60% ini dengan berbagai terobosan, sehingga harapannya kita mampu menyiapkan anak-anak Jakarta sebagai warga global,” ujar Anies.
Anies juga menegaskan kembali bahwa Pemprov DKI Jakarta amat berterima kasih dan mengapresiasi seluruh perguruan swasta.
“Izinkan kami mengawali dengan menyampaikan apresiasi dan terima kasih karena telah mendidik anak-anak kita. Jika kami memiliki tanggung jawab konstitusional melalui lembaga pendidikan negeri, Bapak dan Ibu terpanggil karena tanggung jawab moral untuk ikut memajukan pendidikan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Eks Mendikbud itu mengatakan perlu agar di Jakarta tidak membedakan antara sekolah negeri dan swasta, karena tujuan akhirnya sama yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Gubernur Anies juga sempat menceritakan terkait penghentian eksperimen penjara oleh Universitas
Stanford di mana perilaku seseorang muncul berdasarkan seragam dan peran yang mereka mainkan.
“Saya ingin cerita, tahun 1971 di Universitas Stanford dilakukan eksperimen penjara, mereka mengundang relawan untuk menjadi narapidana dan sipir dengan dibayar sama yakni 15 dolar per hari. Namun, setelah berjalan berhari-hari, peneliti memutuskan menghentikan eksperimen yang ternyata membuat orang yang berperan sebagai sipir menggunakan kewenangan untuk menindas dan narapidana merasa amat menderita,” jelasnya.
“Dari eksperimen tersebut menunjukkan bahwa kita perlu dari awal untuk berpandangan tidak boleh membedakan, karena DNA kita adalah sebagai warga negara Indonesia. Dan saya ingin republik ini maju tanpa ada yang dibeda-bedakan, agar di kemudian hari mereka, khususnya yang berada di menengah ke bawah, merasakan eskalasi kesejahteraan di masa depan,” tambahnya
(Natalia Bulan)