Saat usianya menginjak 7 tahun, Soetomo pindah ke Bojonegoro bersama orangtuanya. Ia kemudian mengenyam pendidikan di ELS di Bangil pada tahun 1896 dan tinggal bersama pamannya, Raden Arjodipoera.
Di sekolah, Soetomo dikenal sebagai anak pemberani dan tak segan membela teman-temannya sesama pribumi.
Apalagi, jika ada temannya yang direndahkan oleh anak-anak bangsa Eropa. Soetomo berani mengajak berkelahi, asalkan harga diri para pribumi tidak dijatuhkan.
Karenanya, Soetomo disegani oleh seluruh siswa ELS, termasuk mereka yang berasal dari Eropa.
Setelah lulus dari ELS, Soetomo sempat meminta masukan kepada ayah dan kakeknya terkait sekolah lanjutannya.
Sang kakek menyuruh Soetomo untuk melanjutkan pendidikan ke OSVIA, yang merupakan sekolah pencetak pegawai Pangreh Praja dan bekerja di pemerintahan.
Namun, ayah Soetomo menginginkan anaknya untuk bersekolah di sekolah dokter atau STOVIA, yang berlokasi di Batavia (kini Jakarta). Akhirnya, Soetomo masuk ke STOVIA untuk meneruskan pendidikan.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, melihat OSVIA adalah khusus mendidik para calon pegawai pemerintahan, Soetomo berpikir bahwa ia nantinya bisa diperlakukan tidak manusiawi oleh pemerintah Belanda.