BANDUNG - Peristiwa erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur mengejutkan banyak pihak. Tak sedikit yang bertanya, kenapa tidak ada peringatan dini sebelum terjadi erupsi sehingga banyak memakan korban jiwa.
Menanggapi hal itu, Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Nana Sulaksana menyebut, proses mitigasi kebencanaan gunung berapi di Indonesia sudah baik. Indonesia sudah memiliki peta kawasan rawan bencana yang disusun oleh ahli geologi dan vulkanologi. Peta ini menjadi pedoman lembaga terkait melakukan mitigasi bencana khususnya erupsi gunung berapi.
Peta ini telah memetakan wilayah-wilayah rawan bencana, termasuk di dalamnya permukiman yang rawan terdampak serta sungai yang akan menjadi aliran lahar. Selain itu, lokasi pengamatan, jalur evakuasi, hingga lokasi pengungsian sudah dipetakan dengan baik dalam peta tersebut.
“Dari kejadian erupsi Gunung Semeru kemarin, tampak bahwa peta lokasi yang terkena bencana dapat dikatakan 90 persen tepat,” jelasnya.
Baca juga: Kisah Haru Rumini, Meninggal Berpelukan Bersama Ibunya Digulung Wedhus Gembel Semeru
Dia mengatakan, erupsi gunung berapi sudah bisa diprediksi sebelumnya berdasarkan tanda-tanda alam yang muncul. Hal ini juga telah didukung protokol mitigasi yang baik. Informasi erupsi sudah dapat disampaikan ke masyarakat satu jam sebelum letusan berapi.
“Dalam ukuran satu hari atau satu jam sudah termasuk bagus berdasarkan kacamatan mitigasi bencana. Jadi, erupsi Semeru kemarin bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa pemberitahuan,” kata Prof. Nana.
Baca juga: Misteri Gunung Semeru: Pasak Bumi di Tanah Jawa hingga Pembawa Petaka
Nana menjelaskan, letusan Semeru memiliki karakter sendiri. Hal ini disebabkan, setiap komplek gunung berapi di Indonesia memiliki dapur magmanya tersendiri. “Antara satu gunung api dengan yang lain sebenarnya berbeda. Karena itu, karakternya juga berbeda karena kandungannya berbeda,” ujarnya.
Dilihat dari tipe letusan, berdasarkan hasil penelitian dan historis, Gunung Semeru secara spesifik memiliki erupsi yang besar. Setelah itu, gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebut kemudian akan tertidur kembali.
Karakter ini berbeda dengan gunung-gunung lain semisal Merapi atau Sinabung. Dinamika magma dari gunung tersebut bergerak simultan. Artinya, erupsi dengan intensitas kecil bisa terjadi dalam waktu yang sering.
Karena itu, setiap gunung berapi di Indonesia memiliki stasiun pengamatannya sendiri. Para pengamat gunung berapi akan rutin melakukan pengamatan terhadap aktivitas gunung berdasarkan perubahan temperatur, catatan seismograf, hingga penampakan visual dari peningkatan gunung berapi.
Status gunung berapi kemudian akan berubah berdasarkan data yang diamati dan direkam di stasiun pengamatan. Pergerakan aktivitas gunung berapi juga dilakukan berdasarkan historis erupsi sebelumnya.
“Jadi, karakter erupsi gunung berapi itu tidak bisa disamakan dengan gunung berapi lainnya,” kata imbuh dia.
Baca juga: Waspada! Gunung Semeru Kembali Luncurkan Awan Panas Guguran
(Fakhrizal Fakhri )