Pengalaman lain yang sangat berkesan adalah saya bersyukur walau Tuhan menciptakan saya dengan wajah yang unik dan minimalis, tetapi di ITB inilah saya bertemu dengan seorang wanita yang menjadi tambatan hati saya, tetapi sayangnya jarak dan waktu tidak menakdirkan saya untuk tetap bersama wanita tersebut, lanjut isi dari kesan dan pesan Davin.
Davin juga menyebutkan suka duka belajar di ITB, pertama ia mengatakan sukanya, ITB menyediakan fasilitas belajar lengkap, lokasi strategis dekat dengan pusat perbelanjaan, dan jajanan melimpah.
Setelah itu sang rektor berkomentar, “Laki-laki suka juga belanja ya.” Satu ruangan tertawa mendengar celetukan rektor tersebut.
Dukanya, di ITB masih ada dosen yang beranggapan bahwa nilai sempurna itu mustahil, kesempurnaan itu hanyalah untuk Tuhan, namun Davin percaya bagi Tuhan tidak ada yang mustahil.
Kelucuan yang dibuat Davin tidak hanya berhenti di situ, ia juga menambahkan “negatifnya” belajar di ITB, menurutnya studi di sana membuat dia dan teman-temannya menjadi kaum dhuafa wifi karena keterbatasan ruang belajar di ITB yang tidak dibuka sampai malam.
“Banyak mahasiswa ITB yang menjadi kaum dhuafa wifi saat malam hari di beberapa rumah makan cepat saji tanpa memesan apapun.” Kata Davin dalam surat kesan dan pesannya.
Lagi-lagi satu ruangan dibuat terhibur olehnya. Ia bahkan menutup surat kesan dan pesannya dengan pantun.
Selain Davin, wisudawan ITB lainnya yang bertingkah lucu melalui surat kesan dan pesannya adalah Juang Bela Negara, prodi fakultas kelautan (FTSL).
Membacakan namanya saja, sang rektor sudah memberikan komentar dengan mengatakan, “Jadi orang tuanya luar biasa memberi namanya, juang bela negara, memang doanya harus keras seperti ini, karena berikutnya kesan dan pesannya agak bertolak belakang.”
Tidak heran jika isi dari kesan dan pesannya memang menghibur.