JAKARTA - Jumlah kasus glaukoma dan kekurangan dokter mata di Indonesia mendorong empat mahasiswa UGM yang terdiri dari Athar Rosyad Partadireja (Teknik Biomedis, 2020), Ajie Kurniawan Saputra (Teknik Elektro, 2018), Muhammad Nur Fahmi (Kedokteran, 2018), dan Synvi Alfajrine Loeba Bistomy (Teknik Biomedis, 2019), tergerak untuk mengembangkan alat yang dapat memudahkan tenaga kesehatan untuk mengumpulkan data glaukoma dengan lebih mudah dan cepat.
Di bawah bimbingan Dr. Indah Soesanti alat tersebut diberi nama Aksakirana, yang berasal dari kata aksa : mata dan kirana : cahaya, sebagai alat diagnosis glaukoma berbasis kecerdasan buatan.
Baca juga:Â Â Wujudkan Kampus Merdeka, UGM Jalin Kerja Sama dengan Perguruan Tinggi Jerman
Menurut Athar, Aksakirana terdiri dari empat komponen utama, yakni perangkat keras berupa handheld, aplikasi seluler dan web Aksakirana, serta pembelajaran mesin. Handheld Aksakirana merupakan aksesoris kamera ponsel yang berbentuk seperti teropong genggam yang dilengkapi oleh lensa indirect ophthalmoscopy sebesar 20D.
Sementara itu, aplikasi seluler Aksakirana berfungsi sebagai media pengunggahan foto ke server guna belajar mesin Aksakirana sehingga diperoleh hasil diagnosis serta tingkat keparahannya. Adapun aplikasi web Aksakirana sendiri memiliki fungsi serupa dengan aplikasi selulernya.
Baca juga:Â Â Mengenal Sinoma, Inovasi Mahasiswa UGM Deteksi Dini Kanker Mulut
“Hanya saja, fitur ini juga dapat diakses melalui perangkat komputer serta memuat fitur-fitur seperti pengunduhan gambar yang diberi takarir informasi hasil diagnosis dan pengunduhan dataset glaukoma yang dapat digunakan dalam penelitian glaukoma. Selain itu, dokter mata juga berhak memverifikasi hasil diagnosis glaukoma dan menerima donasi dari para filantropi,” katanya melansir laman resmi UGM di ugm.ac.id, Kamis (9/9/2021).