MALANG – Konflik dan kekerasan di Papua menjadi persoalan yang belum terselesaikan hingga hari ini. Centra Initiative bersama Universitas Brawijaya, Sasakawa Peace Foundation, PBHI, ELSAM, dan Imparsial pun menggelar simposium internasional untuk mencari solusi menyelesaikan masalah kekerasan dan konflik tersebut.
Dalam Simposium Internasional bertema "Global Human Security and Conflict Resolution in Southeast Asia: Reflection and Strategy Development for Papuan Conflict", Al Araf salah satu narasumber sekaligus menjabat sebagai Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, menawarkan solusi baru pendekatan human security (keamanan manusia).
Pendekatan konsep human security tersebut karena pendekatan keamanan negara (state security) yang selama dijalankan pemerintah terbukti gagal menyelesaikan akar masalah.
“Bagian dari kritik karena kita sayang dengan Papua, kita harus stop kekerasan di Papua, Papua adalah bagian dari Indonesia karena kita peduli dengan kemanusiaan, maka kita harus stop perspektif keamanan negara tadi dalam penyelesaian konflik Papua tetapi kita harus melakukan pendekatan keamanan manusia,” tuturnya, Minggu (2/3/2025).
Pegiat hukum dan HAM yang dikenal vokal menyuarakan tentang penegakan Hukum dan HAM di Indonesia tersebut menyoroti tentang konflik Papua telah berlangsung sejak integrasi wilayah tersebut melalui PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1969. Meski pemerintah telah mencoba berbagai pendekatan, mulai dari keamanan, politik, hingga ekonomi, namun kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi.
“Papua adalah satu area yang secara perspektif masih dominan kerangka pendekatan keamanan negara, sehingga pilihan-pilihan pendekatan keamanannya adalah pilihan pendekatan singkat melalui operasi militer, pendekatan penegakan hukum yang berlebihan yang dilakukan dengan kriminalisasi,” ujarnya.
Sejarah memperlihatkan, sejak menjadi bagian dari Indonesia, Papua selalu mengalami konflik, kekerasan, dan bahkan korban jiwa. “Sejak integrasi, Papua terus menghadapi berbagai bentuk konflik yang belum terselesaikan hingga saat ini,” ujar Al Araf. Ia menegaskan bahwa meski konflik di Papua bersifat fluktuatif, kadang naik, kadang turun, realitas kekerasan tetap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Papua.
Dosen Universitas Brawijaya serta Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD), ini juga mengkritisi pendekatan pemerintah yang selama ini lebih mengedepankan keamanan negara (state security) daripada keamanan manusia (human security).
“Pemerintah telah berulang kali menerapkan pendekatan keamanan, politik, dan ekonomi, termasuk pembangunan infrastruktur. Tapi pertanyaannya, mengapa konflik dan kekerasan terus berlanjut?” tanyanya.
Indikator bahwa negara melakukan pendekatan state security, kata Al Araf dapat dilihat dari fakta bahwa hingga Operasi Militer masih terus berlanjut,deployment pasukan non organik ke Papua bahkan tanpa melalui keputusan politik, sehingga tidak sejalan dengan UU TNI No 34/2004. Berikutnya, perluasan penambahan struktur komando teritorial, yang diikuti dengan pembangunan Pos-pos TNI serta operasi penegakan hukum yang berlebihan dari batas-batas kemanusiaan seperti aksi-aksi demonstrasi di Papua yang sering dihalangi dalam konteks kebebasan berekspresi.
Konflik di Papua yang tidak berkesudahan menurutnya tidak lepas dari sikap inkonsistensi dalam pengambilan kebijakan. Al Araf menyoroti masalah kepercayaan (trust) dan stigmatisasi terhadap masyarakat Papua. “Pemerintah tidak konsisten dalam menerapkan kebijakan. Di satu sisi berbicara tentang perdamaian, di sisi lain operasi militer tetap dilakukan. Hal ini, menurutnya, menimbulkan ketidakpercayaan dari masyarakat Papua,” ujarnya.
Selain itu, ia juga mengkritik stigmatisasi terhadap orang Papua, yang sering dilabeli sebagai separatis atau bahkan teroris. “Labeling terorisme tidak menyelesaikan masalah, justru menimbulkan luka baru,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa pendekatan militer dan kriminalisasi hanya akan memperburuk situasi di Papua. Terlebih, konsep keamanan global telah mengalami evolusi sehingga sudah saatnya penanganan Papua dilakukan dengan pendekatan yang berbeda.
Benar bahwa pada era Perang Dunia I dan II, keamanan lebih difokuskan pada perlindungan kedaulatan negara. Sementara pada masa Perang Dingin, keamanan lebih banyak digunakan untuk melanggengkan kekuasaan rezim. “Di era Orde Baru, atas nama stabilitas dan keamanan, represi terhadap rakyat dilakukan, termasuk penculikan dan pelanggaran HAM.”
Namun, menurut Al Araf, konsep keamanan seharusnya tidak hanya berfokus pada perlindungan negara, tetapi juga pada keamanan individu dan masyarakat terlebih seiring perubahan zaman dapat dilihat bahwa ancaman terhadap keamanan negara bukan hanya berupa ancaman perang, sebagai bukti nyata dapat dilihat pada peristiwa pandemi Covid-19 yang terjadi beberapa tahun lalu.
“Keamanan manusia adalah situasi di mana anak-anak tidak mengalami kelaparan, penyakit tidak mudah menyebar, pekerjaan tersedia, ketegangan etnis tidak berubah menjadi kekerasan, dan lingkungan hidup terjaga,” ujarnya mengutip konsep human security yang dirilis UNDP.
Untuk itu, Ia menegaskan bahwa pendekatan keamanan manusia (human security) lebih relevan untuk menyelesaikan konflik Papua. “Kita butuh perubahan paradigma dari state-centered security ke human security yang lebih memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan rakyat Papua bukan sebagai objek negara semata,” ucapnya dengan tegas.
Di akhir pemaparannya, Al Araf mengutip pernyataan Wakil Presiden RI pertama, Mohammad Hatta, yang menyebut persoalan Papua sebagai persoalan moral dan kemanusiaan. “Ketika lita jenuh dengan kondisi hari ini, mari kita balik ke belakang bagaimana sesungguhnya para founding father kita membaca tentang Indonesia dan memandang Indonesia. Bung Hatta pernah mengatakan, kita dan Papua senasib sepenanggungan. Persoalan Papua adalah persoalan moral dan kemanusiaan.”
Peraih Anugerah Pejuang HAM dan Kemanusiaan dari Universitas Brawijaya dan Ikatan Alumni Universitas Brawijaya (IKA UB) 2022 ini berharap agar semua pihak dapat bersatu untuk mendorong perdamaian di Papua. “Mudah-mudahan kita kita punya nurani, punya moral untuk terus berbicara tentang Papua agar masyarakat papua dalam kehidupan yang damai, agar kemanusiaan di Papua bisa terus dalam situasi hidup yang damai,” ujarnya.
Simposium yang menghadirkan para pakar dan praktisi yang berkompeten ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali pendekatan yang selama ini diambil dalam menyelesaikan konflik Papua. Pendekatan human security, yang menempatkan manusia sebagai fokus utama, diharapkan dapat menjadi solusi baru untuk mengakhiri kekerasan dan menciptakan perdamaian di bumi Cendrawasih yang telah lama dirindukan.
(Feby Novalius)