Tim penelitian juga melakukan pertanggalan ulang pada kandungan kalsium karbonat yang melapisi lukisan gua di situs Leang Bulu’ Sipong 4 di Maros Pangkep. Lukisan gua ini menampilkan adegan sosok yang diinterpretasikan sebagai therianthropes (setengah manusia, setengah hewan) yang sedang berburu babi rusa dan anoa.
Lukisan gua ini sebelumnya sudah pernah diteliti dengan hasil pertanggalan setidaknya 44.000 tahun yang lalu. Melalui metode terbaru, hasil yang didapatkan juga cukup mengesankan karena seni hias tersebut berumur 4.000 tahun lebih tua, yaitu sekitar 48.000 tahun.
Profesor Adam Brumm dari Griffith’s Australian Research Centre for Human Evolution (ARCHE) yang turut serta dalam penelitian ini menyatakan bahwa seni hias gua dari Leang Karampuang dan Leang Bulu’ Sipong 4 memberikan pemahaman baru terhadap signifikansi budaya bercerita dalam kaitannya dengan sejarah seni.
“Perlu diingat bahwa lukisan cadas tertua yang kami temukan di Sulawesi ini terdiri atas beberapa adegan yang bisa dikenali dengan mudah, yaitu penggambaran interaksi manusia dan hewan yang bisa ditafsirkan bahwa seniman pembuatnya berusaha untuk berkomunikasi secara naratif,” lanjut Brumm.
Brumm juga menyatakan bahwa ini merupakan sebuah penemuan mutakhir karena pandangan akademis selama ini menunjukkan bahwa lukisan gua figurative awal hanya terdiri atas panel individual tanpa memperlihatkan adegan yang jelas. Kemunculan representasi gambar yang memiliki cerita baru muncul kemudian dalam seni hias Eropa.
Menanggapi penemuan penting ini, Kepala Pusat Riset (PR) Arkeometri BRIN Sofwan Noerwidi mengatakan, publikasi ini adalah contoh bahwa kita harus senantiasa mengembangkan teknik dan metode penelitian agar dapat menghasilkan interpretasi hasil penelitian yang semakin tajam.
“Aplikasi laser ablation yang dikombinasikan dengan pertanggalan U-series menampilkan kronologi lukisan naratif prasejarah muncul lebih awal dari dugaan sebelumnya, yaitu lebih tua dari 50 ribu tahun lalu,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala PR Arkeologi Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan BRIN, Marlon Ririmasse juga menambahkan bahwa hasil ini merupakan refleksi produktivitas kolaborasi riset internasional yang konsisten antara BRIN bersama mitra lembaga nasional (Griffith University), serta kontribusi arkeologi Indonesia dan Australia untuk ilmu pengetahuan.
Kemudian Kepala PR Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN Irfan Mahmud berpendapat bahwa publikasi ini sangat bermakna bagi narasi kebudayaan dunia dari berbagai aspek ilmu pengetahuan, dan makin memperkuat nilai penting warisan arkeologi Maros-Pangkep sebagai kawasan yang sangat penting dilindungi dan dimanfaatkan untuk riset, pendidikan, termasuk pariwisata untuk kesejahteraan masyarakat.
(Dani Jumadil Akhir)