JAKARTA - Krisis minyak akibat peningkatan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) mendorong adanya produksi sumber daya alternatif.
Beranjak dari hal tersebut, Profesor ke-193 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Dr Dra Yulfi Zetra MSc menginovasikan pengoptimalan pemanfaatan batu bara melalui hilirisasi batu bara padat menjadi cair dan sintesis bioaditif pada bahan bakar fosil bersulfur rendah.
Guru Besar Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Analitika Data (FSAD) ITS tersebut menyebutkan bahwa tingkat impor bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia semakin meningkat. Padahal, sebenarnya Indonesia masih banyak memiliki sumber daya selain minyak bumi.
“Salah satu alternatifnya adalah batu bara yang dapat diolah hingga memiliki kemiripan sifat dengan minyak bumi,” ungkap Yulfi dalam keterangan resmi ITS, Jakarta, Senin (8/1/2024).
Dia pun menjelaskan bahwa pengolahan batu bara berpotensi menjadi alternatif bahan bakar minyak setelah melalui proses pencairan. Pencairan tersebut merupakan upaya untuk memecah makromolekul batu bara padat menjadi cair hingga memiliki rasio hidrogen per karbon yang mendekati minyak fosil. Setelah proses yang disebut hidrogenasi tersebut, akan diperoleh batubara dengan rasio hidrogen per karbon berkisar 1,2 - 1,8 dari yang semula hanya sebesar 0,3 – 0,9.
Lebih lanjut, Yulfi mengulas proses hidrogenasi dimulai dari mempersiapkan materi yang akan diolah dengan cara menghancurkan batubara hingga menjadi partikel-partikel kecil dengan ukuran 200 mesh atau setara 0,074 milimeter. Setelahnya, partikel tersebut akan dicampurkan dengan beberapa zat, di antaranya adalah pelarut minyak berat, katalis limonit SH, serta katalis belerang dan gas hidrogen.
Campuran tersebut dimasukkan ke dalam reaktor pencairan batubara dan akan direaksikan pada suhu 450 derajat celsius dan tekanan sebesar 120 megapascal. Setelah melewati proses ini selama 60 menit, akan dihasilkan produk batubara yang memiliki rasio hidrogen per karbon yang diharapkan. Selanjutnya, produk tersebut melewati proses distilasi fraksinasi pada suhu didih mulai 30 - 538 derajat celsius untuk mendapatkan beberapa fraksi, yakni nafta, Light Oil (LO), Middle Oil (MO), dan Heavy Oil (HO).
Namun sayangnya, produk fraksi yang salah satunya dapat digunakan sebagai bahan bakar diesel tersebut masih memiliki kandungan belerang yang cukup tinggi. Hal itu berpotensi menimbulkan hujan asam yang dapat merusak lingkungan ketika dilakukan pembakaran pada bahan bakar bersulfur tinggi.
“Sehingga diperlukan upaya desulfurisasi atau pengurangan kandungan sulfur untuk mengurangi tingkat kerusakan lingkungan,” tutur Yulfi.
Sementara itu, menurut Yulfi, berkurangnya kandungan sulfur juga tidak bagus bagi bahan bakar tersebut karena dapat mengurangi daya lumas pada mesin yang bisa menyebabkan terjadinya aus dan menurunnya performa mesin.
Untuk mengatasi hal tersebut, alumnus program doktoral Departemen Kimia ITS tersebut juga menginovasikan penambahan zat bioaditif berupa senyawa 2-hidroksietil risinoleat dari bahan hayati guna mempertahankan daya lumas bahan bakar tersebut.
Melalui serangkaian proses tersebut, terang Yulfi, akan dihasilkan suatu bahan bakar yang diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak yang terus menipis. Tak hanya sebagai sumber daya alternatif, produk inovasi tersebut juga ramah lingkungan. Menilik potensi sumber daya batubara di Indonesia, Yulfi berharap agar inovasinya tersebut dapat terus dikembangkan.
(Dani Jumadil Akhir)