3. Sekolah Ketinggian
Abstrak
Iwan: "Bener, tapi saya itu diminta sekolah sama ibu saya."
Setyawan: "Heem."
Orientasi
Iwan: "Itu untuk sekolah yang tinggi."
Setyawan: "Heem."
Krisis
Iwan: "Saya enggak mau."
Setyawan: "Kenapa?"
Iwan: "Saya takut ketinggian. Lihat bawah tuh saya takut kalau mau jatuh."
Reaksi
Setyawan: "Oh ya ya ya."
Koda
Iwan: "..."
4. Nilai Merah
Abstrak
Setyawan: "Kan luar biasa itu. Ada pengalaman unik selama sekolah?"
Orientasi
Mas Wanto: "Ada dulu sekolah itu kan biasanya orang-orang kalau sama nilai dapat merah itu pada takut kalau saya nggak."
Setyawan: "Sebabnya?"
Krisis
Mas Wanto: "Saya ditanya 'kamu itu sekolah raportnya nilainya merah terus kenapa alasannya' karena saya orang Indonesia karena merah berani saya."
Reaksi
Setyawan Tiada Tara: "Wowwww."
5. Main Kartu di Sekolah
Abstrak
Saat semua guru sedang rapat, anak-anak di sekolah tidak ada pelajaran. Namun, seluruh siswa diimbau untuk tetap berada di kelas dan belajar masing-masing dengan mengerjakan tugas.
Orientasi
Kesempatan itu dipakai Aldi, Beni, dan Nuri untuk bermain di dalam kelas. Mereka membawa kartu remi dan permainan monopoli dari rumah. Setengah hari mereka habiskan dengan bermain di kelas, sampai Guru Bimbingan Konseling (BK) datang.
Krisis
Guru BK: “Kalian ini tidak tahu malu. Guru sedang rapat kalian malah memanfaatkan waktu untuk bermain kartu!”
Reaksi
Ketiga siswa itu diam saja, tidak membantah.
Guru BK: “Mau jadi apa kalian nanti? Jadi bandar judi?”
Aldi: “Kan kami main doang Pak. Gak pakai uang juga.”
Guru BK: “Loh? Berani membantah. Sudah salah, diberi nasehat malah membantah. Ini lagi Nuri, perempuan kok main kartu kayak begini siapa yang ngajarin main remi begini? Aldi? Beni?”
Koda
Nuri: “Bukan, Pak. Yang ngajarin Bapak saya.”
6. Salah sekolah
Abstrak
Hari ini kelas daring mata pelajaran Bahasa Indonesia dimulai pukul 09.00. Dila bersiap di depan laptop. Buku dan alat tulis juga sudah siap. Kelas pun dimulai.
Orientasi:
Guru: “Selamat pagi semua.”
Krisis
Dila gugup. Dia tidak tahu kalau ada tugas. Ia membolak-balik buku catatan, tetapi tidak ada coretan atau pengingat bahwa ada tugas Bahasa Indonesia. Dila tidak mengerjakan. Ia perlu mengaku, siapa tahu Bu Guru memaafkan dan memberi keringanan.
Reaksi
Dila: “Permisi, Bu. Maaf sebelumnya sepertinya saya lupa mencatat, jadi tidak tahu kalau ada tugas.”
Guru: “Kok bisa? Saya sudah dengan jelas beri tahu kalau ada tugas. Kalian juga sudah saya beritahu lewat Whatsapp. Begitu masih saja lupa. Siapa ini tadi yang belum mengerjakan?”
Dila: “Saya, Bu. Nama saya Dila.”
Guru: “Dila siapa?”
Dila: “Dila Suciwati, absen 9.”
Guru: “Saya tidak punya murid bernama Dila.”
Dila: “Bu Indri kok jahat begitu. Saya muridmu, Bu.”
Guru: “Loh, sejak kapan nama saya jadi Indri.”
Dila: “Loh, sebentar. Ini betul SMA Sukareja, Indramayu kan Bu?”
Koda
Guru: “BUKAN! Ini SMA Wangun Lor, Kediri!”
7. Hukuman
Abstrak
Di pagi hari yang cerah, di sebuah ruang kelas, sedang berlangsung proses pembelajaran. Karena kondisinya santai, guru kelas bercakap-cakap dengan salah satu siswa.
Orientasi
"Bu, Ibu Guru! Mau bertanya, Bu!" kata seorang siswa bernama Meta.
"Ya, silahkan, mau bertanya apa, Ta?" jawab Bu Guru.
Krisis
"Bu Guru, sebenarnya boleh tidak, seseorang dihukum karena perbuatan yang belum dia lakukan?" tanya Meta.
"Jelas tidak boleh, ya. Seseorang baru boleh dihukum saat dia terbukti bersalah," terang Bu Guru.
Reaksi
"Syukurlah Bu, jadi saya bebas hukuman, ya, Bu? Soalnya saya belum mengerjakan PR," sahut Meta.
Koda
"Hahahahaha, dasar!" gelak Bu Guru dan siswa-siswa kelas.