Magang dan Segala Problematikanya: Merasakan Hustle Culture dan Tidak Digaji

Lulu Sofiannisa, Jurnalis
Jum'at 30 Desember 2022 16:48 WIB
Ilustrasi/Unsplash
Share :

JAKARTA - Kegiatan magang merupakan hal yang sudah ada sejak dahulu sebagai kegiatan wajib mahasiswa untuk salah satu syarat kelulusan di kampus.

Terlebih lagi, semenjak adanya kebijakan baru dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, yaitu “Kampus Merdeka”.

Nadiem menjelaskan bahwa mahasiswa diberikan kebebasan untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan Satuan Kredit Semester (SKS) dari total delapan semester, tiga semester bisa digunakan untuk belajar di luar prodi atau magang.

Kegiatan magang ini memang diperuntukan untuk mahasiswa semester akhir 6-7 atau untuk teman-teman prakerja.

Namun, bukan hanya mereka, mahasiswa semester 3-4, mahasiswa baru, bahkan yang masih di jenjang sekolah menengah pun juga berbondong-bondong untuk mengikuti magang.

Situasi pandemi yang mendorong perusahaan menetapkan kebijakan work from home juga merupakan faktor dari meningkatnya fenomena magang ini terjadi.

Kebijakan itu betul melahirkan manfaat-manfaat menarik, seperti jam kerja fleksibel, pengalaman yang berlimpah, dan jabatan yang dapat dicantumkan dalam CV.

Namun, di sisi lain, fenomena magang ini juga menyebabkan munculnya pertumbuhan hustle culture.

Selain karena kebutuhan ekonomi, banyak teman-teman mahasiswa yang juga melakukan magang karena melihat progres seseorang.

Waktu yang seharusnya dikhususkan untuk fokus belajar jadi makin ditambah pusing karena harus mencari tempat magang lebih dari satu tempat lantaran terjebak dalam polemik ini.

Mungkinkah rasa semangat teman-teman ini berkorelasi dengan begitu banyaknya kasus yang dikatakan “eksploitasi tenaga kerja murah”?

Apakah sebenarnya memang tidak ada hukum yang melindungi para pemagang dari isu ini?

Sebelum membahas lebih jauh, dalam program magang, ada dua istilah yang perlu kamu pahami terlebih dahulu.

Perbedaan Pemagangan dan Intership

Dalam Permenaker Nomor 6 Tahun 2020, pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu di lembaga pelatihan ataupun bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur/pekerja yang berkompetensi dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan dengan tujuan untuk menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.

Pemagangan ini sangat erat kaitannya dengan konsep ketenagakerjaan, bukan dengan konsep kurikulum pendidikan.

Karena itulah pemagangan ini diatur langsung oleh Kementrian Ketenagakerjaan. Untuk pesertanya sendiri, kriterianya adalah pencari kerja (job seeker) atau pekerja yang ingin meningkatkan kompetensinya.

Syaratnya, minimal berusia 17 tahun, sehat, dan lulus seleksi program pemagangan.

Dalam Pasal 13 Permenaker Nomor 6 Tahun 2020, hak peserta pemagangan adalah memperoleh uang saku dari penyelenggara pemagangan.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa penyelenggaraan magang tidak dilakukan secara asal.

Dalam pelaksanaannya, pemagang dan perusahaan membuat perjanjian tertulis yang berisi minimal hak dan kewajiban peserta magang dan pengusaha, serta jangka waktu pemagangan.

Lalu, bagaimana dengan istilah intership yang sampai sekarang sering digunakan oleh mahasiswa atau fresh graduate yang sedang mencari pengalaman dunia kerja?

Sayangnya, “intership” ini masih terkesan abu-abu secara hukum. Sebab, belum ada regulasi yang secara spesifik mengatur tentang hal tersebut.

Jadi, Magang Itu Dibayar atau Tidak?

Selain untuk kepentingan akademis, banyak mahasiswa yang mengikuti magang untuk menambah penghasilan.

Namun, yang terjadi justru janji-janji upah itu tidak sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan.

Dalam Pasal 13 Ayat (1) Peraturan Kementerian Ketenagakerjaan, peserta pemagangan berhak untuk memperoleh uang saku, tetapi tidak disebutkan besaran minimum uang saku tersebut.

Hal ini pun turut membuat banyaknya ketidakadilan yang dirasakan oleh para pemagang lantaran uang saku yang dibayarkan tak sesuai dengan beban kerja yang diberikan.

Ketat dalam memahami surat perjanjian saja tidak cukup. Faktanya, sampai hari ini, masih banyak teman-teman pemagang yang harus bekerja di luar jobdesc-nya (overwork) dengan upah yang sangat minimum (underpaid).

Bahkan, ada juga yang harus bekerja selama 6-10 bulan, setara dengan pekerja tetap, tetapi tidak diberi upah atau uang saku yang layak.

Sudah Underpaid, Overwork, Kena Hustle Culture, Dieksploitasi Pula

Tentu yang menjadi keresahan dan meluapnya isu ini adalah karena adanya kasus-kasus yang ditimbulkan oleh beberapa perusahaan, sebutlah Campuspedia dan Ruangguru yang membayar para pemagangnya dengan bayaran yang tak sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan.

Tidak hanya kasus itu, masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang serupa. Anak magang yang sedang semangatnya mencari pengalaman dengan berlandaskan pendidikan justru malah dibebani dengan pekerjaan yang setara dengan pekerja tetap.

Belum lagi mereka yang harus merogoh kocek lebih dalam, baik untuk keperluan internet bagi yang WFH maupun untuk ongkos dan juga makan bagi yang WFO.

Belum lagi hustle culture, yaitu budaya menggilai kerja dengan waktu yang berlebihan, hal ini sering kali ditemukan dari para pemagang yang bermagang di lebih dari satu tempat. Sudah underpaid, overwork, kena hustle culture, dieksploitasi pula.

Namun, sayang sekali hal-hal tersebut malah di-glorifikasi lewat iming-iming magang yang bakal menambah pengalaman kerja profesional, relasi yang luas, dan memperkaya keahilan.

Bergerak dengan maksud mendapatkan edukasi justru malah terjebak dalam eksploitasi? Lantas, bagaimana pemagang bisa selamat dari hal ini?

Lulu Sofiannisa

 

Aktivis Persma Ketik Polimedia

(Natalia Bulan)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Edukasi lainnya