Kebijakan itu betul melahirkan manfaat-manfaat menarik, seperti jam kerja fleksibel, pengalaman yang berlimpah, dan jabatan yang dapat dicantumkan dalam CV.
Namun, di sisi lain, fenomena magang ini juga menyebabkan munculnya pertumbuhan hustle culture.
Selain karena kebutuhan ekonomi, banyak teman-teman mahasiswa yang juga melakukan magang karena melihat progres seseorang.
Waktu yang seharusnya dikhususkan untuk fokus belajar jadi makin ditambah pusing karena harus mencari tempat magang lebih dari satu tempat lantaran terjebak dalam polemik ini.
Mungkinkah rasa semangat teman-teman ini berkorelasi dengan begitu banyaknya kasus yang dikatakan “eksploitasi tenaga kerja murah”?
Apakah sebenarnya memang tidak ada hukum yang melindungi para pemagang dari isu ini?
Sebelum membahas lebih jauh, dalam program magang, ada dua istilah yang perlu kamu pahami terlebih dahulu.
Perbedaan Pemagangan dan Intership
Dalam Permenaker Nomor 6 Tahun 2020, pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu di lembaga pelatihan ataupun bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur/pekerja yang berkompetensi dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan dengan tujuan untuk menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
Pemagangan ini sangat erat kaitannya dengan konsep ketenagakerjaan, bukan dengan konsep kurikulum pendidikan.
Karena itulah pemagangan ini diatur langsung oleh Kementrian Ketenagakerjaan. Untuk pesertanya sendiri, kriterianya adalah pencari kerja (job seeker) atau pekerja yang ingin meningkatkan kompetensinya.
Syaratnya, minimal berusia 17 tahun, sehat, dan lulus seleksi program pemagangan.
Dalam Pasal 13 Permenaker Nomor 6 Tahun 2020, hak peserta pemagangan adalah memperoleh uang saku dari penyelenggara pemagangan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa penyelenggaraan magang tidak dilakukan secara asal.
Dalam pelaksanaannya, pemagang dan perusahaan membuat perjanjian tertulis yang berisi minimal hak dan kewajiban peserta magang dan pengusaha, serta jangka waktu pemagangan.
Lalu, bagaimana dengan istilah intership yang sampai sekarang sering digunakan oleh mahasiswa atau fresh graduate yang sedang mencari pengalaman dunia kerja?
Sayangnya, “intership” ini masih terkesan abu-abu secara hukum. Sebab, belum ada regulasi yang secara spesifik mengatur tentang hal tersebut.
Jadi, Magang Itu Dibayar atau Tidak?
Selain untuk kepentingan akademis, banyak mahasiswa yang mengikuti magang untuk menambah penghasilan.
Namun, yang terjadi justru janji-janji upah itu tidak sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan.
Dalam Pasal 13 Ayat (1) Peraturan Kementerian Ketenagakerjaan, peserta pemagangan berhak untuk memperoleh uang saku, tetapi tidak disebutkan besaran minimum uang saku tersebut.
Hal ini pun turut membuat banyaknya ketidakadilan yang dirasakan oleh para pemagang lantaran uang saku yang dibayarkan tak sesuai dengan beban kerja yang diberikan.
Ketat dalam memahami surat perjanjian saja tidak cukup. Faktanya, sampai hari ini, masih banyak teman-teman pemagang yang harus bekerja di luar jobdesc-nya (overwork) dengan upah yang sangat minimum (underpaid).
Bahkan, ada juga yang harus bekerja selama 6-10 bulan, setara dengan pekerja tetap, tetapi tidak diberi upah atau uang saku yang layak.