Arista menjelaskan, objek kajian menggunakan Babad Diponegoro memiliki urgensi tersendiri bagi mahasiswa Undip, khususnya jurusan sastra dan sejarah.
“Objek Babad Diponegoro harus menjadi perhatian khusus, karena Pangeran Diponegoro yang menjadi nama kampus Undip meninggalkan sebuah harta karun berupa Babad Diponegoro,” jelas Arista saat dihubungi Tim Humas Undip.
“Babad Diponegoro sebagai teks sastra tentu tidak bisa kita kesampingkan dari fokus riset, karena terbukti UNESCO saja mengakui sebagai warisan ingatan dunia, apalagi kita yang menggunakan nama Diponegoro sebagai almamater,” terang Arista.
Hal tersebut rupanya mendasari mengapa Arista yang tercatat pernah magang selama satu bulan di Humas Undip memilih objek Babad Diponegoro versi Manado sebagai objek penelitian tesisnya.
Babad Diponegoro versi Manado ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro saat diasingkan oleh Belanda di Sulawesi Selatan pada tahun 1831-1832.
Bagian teks Babad Diponegoro yang menjadi fokus perhatian Arista adalah gatra ke-52 pada pupuh ke-14.
Bagian tersebut mengisahkan Pangeran Diponegoro muda saat dibimbing langsung oleh nenek buyutnya, GKR Ageng Tegalreja yang merupakan permaisuri dari Sri Sultan Hamengkubuowono I.
Bagian pupuh ini juga menggambarkan suasana masyarakat Tegalrejo pada masa muda Pangeran Diponegoro.
Saat ini, kediaman Tegalrejo tempat Pangeran Diponegoro tinggal bersama nenek buyutnya itu sering disebut Museum Sasana Wiratama Yogyakarta.
Menurut Arista, bagian pupuh tersebut sering luput dari perhatian sejarah Pangeran Diponegoro.
Padahal, kisah tersebut menjadi bukti pentingnya proses pembentukan karakter Pangeran Diponegoro, khususnya saat mengenyam pendidikan sebagai seorang santri.
“Saya tertarik mengambil bagian kisah ini karena bercerita jauh sebelum masa Perang Diponegoro. Masih banyak yang menganggap kisah penting Pangeran Diponegoro bagi Indonesia adalah saat Perang Jawa (1825-1830). Padahal kisah Pangeran Diponegoro saat menimba ilmu tidak kalah penting juga,” paparnya.
Dalam proses analisisnya, Arista juga memanfaatkan sebuah lukisan berjudul 'The Garden of Earthly Prosperity in Ground Zero' yang dilukis oleh Isur Suroso.
Lukisan tersebut berhasil dimanfaatkan Arista untuk memperkaya proses penafsiran terhadap teks Babad Diponegoro.
“Karena teori yang saya pakai hermeneutika, itu tentang penafsiran. Maka saya juga melibatkan lukisan yang sesuai dengan bunyi kisah pada bagian teks sebagai pembanding sekaligus untuk memperkaya kandungan makna yang bisa digali dari tembang tersebut,” tambah Arista.