JAKARTA - Pernikahan dini telah menjadi kekhawatiran masyarakat dunia dengan adanya fakta bahwa pernikahan dini melanggar hak asasi anak, membatasi pilihan dan peluang anak, dan menjadi hambatan bagi perkembangan fisik, emosional, dan sosial sebelum memasuki usia dewasa.
Berdasarkan data BPS 2023, perempuan yang berusia 20 - 24 tahun yang berstatus kawin sebelum usia 18 tahun sebesar 6,92%. Banyaknya kasus pernikahan dini ini menjadikan indonesia termasuk dalam 10 negara dengan angka perkawinan anak tertinggi di dunia menurut UNICEF.
Isu pernikahan dini tidak terlepas dari faktor-faktor pendorong terjadinya pernikahan dini yaitu faktor kemiskinan, geografis, kurangnya akses terhadap pendidikan, budaya, ketiadaan akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi, serta belum optimalnya kebijakan atau regulasi yang berperan dalam menekan angka pernikahan dini di Indonesia.
Implementasi perubahan kebijakan mengenai batas usia perkawinan memiliki implikasi yang signifikan dalam upaya mencegah pernikahan dini dan melindungi kesehatan remaja. Dengan menetapkan batas usia minimal yang lebih tinggi, pemerintah dapat efektif mengurangi tingkat pernikahan pada usia muda yang sering kali membawa risiko serius bagi kesehatan fisik dan mental remaja.
Langkah ini tidak hanya dimaksudkan untuk melindungi remaja dari risiko kesehatan serius seperti komplikasi kehamilan pada usia muda dan risiko kematian maternal, tetapi juga untuk memberi mereka kesempatan yang lebih besar untuk menyelesaikan pendidikan mereka dengan baik.