JAKARTA - Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Erma Yulihastin menjelaskan kekeringan dan hujan ekstrem saat ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Demikian berdasarkan kajian perubahan iklim (2021-2050) khusus wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI) menggunakan teknik dynamic downscaling resolusi tinggi. Cuaca ekstrem ini berdampak pada wilayah Sumatera bagian tengah dan selatan.
Kekeringan ekstrem di masa mendatang juga berdampak pada wilayah Kalimantan bagian tengah, timur, dan selatan (termasuk IKN). Sedangkan Kalimantan bagian barat diproyeksikan mengalami hari-hari yang lebih basah.
Kajian klimatologis terkini mengenai karakteristik hujan tahunan dan musiman di Indonesia juga diperlukan. Hal ini sebagai bentuk validasi agar indikasi perubahan iklim secara aktual saat ini di Indonesia dapat dipetakan dengan lebih baik, khususnya dalam hal perubahan pada pola musim dan cuaca ekstrem.
Dia mengatakan bahwa perubahan hujan menjadi kunci penting untuk memahami pola cuaca ekstrem yang telah terjadi di Benua Maritim Indonesia (BMI) selama masa dekade sebagai dampak pemanasan global.
“Pola hujan di BMI mengikuti pola umum hujan yang dapat dipengaruhi oleh angin darat hingga laut dan gravitasi sehingga pada fase kejadian hujan merupakan sore hari diatas darat dan pagi hari di atas laut,” kata Erma di Gedung Bj Habibie, Media Lounge Disccusion, pada Rabu, (31/1/2024).
Namun demikian, dalam variasi fase hujan diurnal sehingga hujan maksimum di darat akan terjadi pada dini hari dengan frekuensi yang sangat signifikan. Untuk wilayah utara Jawa pada bagian barat khususnya DKI Jakarta. Pada fase hujan dinihari yang turun intensitas tinggi atau ekstrem tersebut. Telah dibuktikan, penyebab banjir besar di Jakarta pada tahun 2007, 2013, 2014 dan 2020.
Hasil kajian BRIN menunjukkan karakteristik utama hujan dinihari yang terjadi di utara Jawa bagian barat, yaitu:
1. Hujan mengalami propagasi yang kuat dari laut menuju darat maupun sebaliknya
2. Keacakan dalam hal fase terjadinya hujan pada rentang waktu dini hari (01.00–04.00 WIB).
3. Hujan dinihari memiliki keterkaitan yang kuat dengan hujan ekstrem yang memicu banjir besar di DKI Jakarta.
Selain itu, Erma mengusulkan agar Indonesia membentuk Komite Cuaca Ekstrem. Menurutnya, kolaborasi yang erat dari hulu ke hilir antara BRIN-BMKG-BNPB-BPBD-Pemda-Relawan dan Media dalam sebuah forum bersama atau komite sudah saatnya dibangun sebagai bagian dari langkah strategi nasional melakukan mitigasi dan antisipasi dampak cuaca ekstrem yang semakin meluas akibat perubahan iklim.
"Di luar negeri, kita dapat mencontoh negara-negara federal di Amerika Serikat yang memiliki Komite Khusus Cuaca Ekstrem beranggotakan ilmuwan, prakirawan, politisi yang merupakan wakil pemerintah pusat dan pemerintah daerah setempat, serta menggandeng media, LSM dan relawan," jelasnya.
Dalam komite ini bisa dibuat dalam sebuah program strategis nasional yang dinamakan Bangsa Siaga Cuaca atau Weather-Ready Nation (WRN) yang sebenarnya juga diinisiasi oleh badan cuaca dunia yaitu World Meteorological Organization (WMO). Tujuan utama WRN tak sekadar memperkuat hilirisasi informasi peringatan dini cuaca ekstrem semata, tapi juga melakukan edukasi secara intensif dan meluas kepada publik.
Erma menambahkan, melalui komite tersebut juga dapat dirumuskan program-program penting untuk edukasi publik, membangun simpul-simpul relawan yang efektif dan berdaya jangkau luas dengan engagement yang signifikan, serta secara aktif bekerja terus menerus dalam membangun kesadaran publik.
"Penting untuk dipahami, berbeda dengan jenis bencana alam lain seperti gempa dan tsunami, cuaca ekstrem adalah jenis bencana alam yang paling dinamis dan paling sering terjadi sehingga butuh terus-menerus untuk keep up to date. Bahkan informasi prediksi cuaca ekstrem pun harus terus-menerus diperbarui idealnya dua kali dalam sehari, mengikuti dinamika cuaca yang berubah-ubah setiap waktu," tutupnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)