JAKARTA – Mahasiswi Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur lompat dari lantai 12 gedung Fasilkom dan menghabisi nyawanya sendiri. Psikiater mengatakan faktor terbesar remaja bunuh diri, selain dampak negatif penggunaan sosial media, adalah prestasi yang tidak sesuai ekspektasi.
Psikiater dan Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RSJ dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa, Nova Riyanti Yusuf, menjelaskan dua alasan terbesar remaja bunuh diri adalah penyalahgunaan media sosial dan prestasi yang tidak memenuhi ekspektasi.
"Selain penggunaan media sosial yang buruk, yang kedua tertinggi itu masalahnya adalah prestasi dia lebih rendah dari ekspektasi. Orang kan berpikir bullying tertinggi, ya? Ternyata nggak, itu lebih tinggi lho!" ungkap dr. Nova dalam wawancara bersama Okezone di iNews Tower, Kamis (14/12/2023).
BACA JUGA:
Selain masalah penyalahgunaan media sosial dan prestasi yang tidak sesuai ekspektasi, dr. Nova juga mengungkapkan alasan lain di antaranya:
Bullying
Masalah orang tua
Masalah ekonomi keluarga
Idola bunuh diri
Teman bunuh diri
Keluarga bunuh diri
Penggunaan narkotika
Saat ini, Pusat Kesehatan Jiwa Nasional tengah berupaya meneliti dan mencari solusi terkait permasalahan bunuh diri pada remaja. Dengan menerapkan metode screening barcode dimana peserta diminta mengisi beberapa instrumen, hasilnya cukup mengejutkan.
Dilansir dari data Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RSJ dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, peningkatan kasus remaja beresiko bunuh diri meningkat drastis. Tahun 2018-2019 silam, program ini dilakukan pada 910 remaja SLTA/Sederajat. Dari hasil screening terdapat 13,8 persen yang beresiko. Sedangkan pada 2023, dari 215 mahasiswa yang mengikuti program, hasilnya meningkat drastis menjadi 49 persen.
BACA JUGA:
"Kalau melihat angka resiko, (peningkatannya) tinggi dibanding sebelum pandemi," jelas dr. Nova sembari menjelaskan faktor kecenderungan bunuh diri pada remaja di atas.
Dokter Nova juga menambahkan bahwa pendidikan tidak menjamin seseorang paham dan berpikir logis untuk tidak membunuh dirinya. Hal ini ia buktikan ketika melakukan wawancara kualitatif pada remaja SMA di salah satu sekolah negeri Jakarta.