JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mempunyai tujuan untuk mengakhiri AIDS pada 2030 nanti. Tujuan tersebut dapat terjadi dengan mencapai misi three zero dan triple 95. Tetapi dalam mewujudkannya, terdapat beberapa tantangan utama yang membuat tujuan tersebut sulit untuk terealisasi.
HIV-AIDS menjadi salah satu penyakit yang menjadi perhatian bagi pemerintah Indonesia. Menurut data, sudah ada sekitar 515.455 kasus orang dengan HIV (ODHIV) yang dapat teridentifikasi di Indonesia. Untuk itu, pemerintah mempunyai cita-cita mulia untuk mengakhiri AIDS pada 2030.
BACA JUGA:
Dalam mewujudkan mengakhiri AIDS 2030, pemerintah Indonesia mempunyai misi three zero dan triple 95. Misi triple zero yakni berarti nol penyebaran infeksi baru, nol kematian akibat AIDS, dan nol diskriminasi terhadap orang dengan HIV (ODHIV). Sedangkan triple 95 berarti, adanya target untuk mencapai indikator 95% ODHIV mengetahui status mereka, 95% ODHIV mendapatkan ARV, sehingga mencapai 95% ODHIV dan ARV dengan virus yang tersupresi.
Indonesia sendiri baru mencapai angka 88% dalam upaya mencapai target 95% pertama. Retno Trisari Fungsional Epidemiologi Kementerian Kesehatan meminta bantuan dan peran komunitas dalam membantu pemerintah mengatasi beberapa tantangan utama yang dihadapi pemerintah dalam meredam HIV-AIDS.
BACA JUGA:
“Kami menekankan lagi kepada teman-teman yang ada di komunitas, yang ada di pusat, maupun di daerah untuk berkolaborasi melakukan koordinasi dengan teman-teman yang ada di layanan dalam upaya pendampingan dan penjangkauan untuk ODHIV. Sehingga ODHIV dapat mendapatkan ARV, minum obat teratur, kemudian melakukan tes viral load,” katanya, dalam diskusi di Jakarta, Jumay (8/12/2023).
Tantangan Utama
Dalam pertemuan tersebut, Retno menjabarkan beberapa tantangan utama yang dihadapi pemerintah. Beberapa tantangan utama tersebut adalah:
1. Upaya pencegahan belum cukup efektif dalam mencegah infeksi baru
Hal ini terjadi karena masih banyak ODHIV yang tidak mau melakukan tes atau mengakui bahwa dirinya seorang ODHIV. Selain itu, banyak ODHIV yang tidak mau mengonsumsi ARV atau baru mengonsumsi ARV ketika mereka sudah dalam kondisi yang buruk.
2. Belum semua fasilitas kesehatan yang memberi tes HIV (39%) dapat memberi pelayanan pengobatan HIV, menyebabkan jarak pengobatan yang jauh
Belum semua layanan kesehatan di Indonesia (khususnya di daerah) yang dapat melakukan pengujian dan memiliki fasilitas yang memadai untuk melakukan pengobatan. Beberapa faktor menjadi alasan mengapa hal ini dapat terjadi, seperti kurangnya anggaran, terbatasnya sumber daya manusia, dan beberapa faktor lainnya. Hal tersebut juga yang menjadi tugas untuk pemerintah dalam menangani permasalahan kesehatan lainnya, tidak hanya HIV.
3. Banyak lost to follow up dari ODHIV yang berobat
Terutama di 12 bulan pertama, mengurangi capaian ODHIV yang berobat; antara lain karena belum merasa sakit, pindah ke herbal
Lost to follow up berarti ketidakhadiran ODHIV ke klinik VCT dalam waktu ≥ 180 hari atau kembali ke klinik VCT setelah sempat tidak berkunjung selama ≥ 180 hari. Banyak ODHIV yang tidak melanjutkan pemeriksaan rutin dan perobatan mereka. Selain itu, karena selama prosesnya mereka belum merasa begitu sakit, sehingga mereka memilih pengobatan secara herbal dibandingkan mengonsumsi ARV.