JAKARTA - Tenun merupakan salah satu kain atau wastra nusantara warisan leluhur. Tahukah kamu, di awal era 1920an, ternyata tenun pernah menjadi mata pelajaran formal di sekolah. Saat itu merupakan era tokoh bangsa Dr. Soetomo.
Menyambut Festival Tenun Songket Nusantara dan UMKM Expo yang akan segera digelar pada 2-7 September 2023 mendatang, lebih dari 90 tahun lalu di tanggal yang sama, ada sejarah menarik terkait kemampuan menenun. Untuk pertama kalinya, jelang akhir era tahun 20-an, Dr. Soetomo membuat sebuah 'gebrakan'. Pada waktu itu, uniknya kemampuan menenun ini hadir di sekolah formal. Jangan salah, bukan sebagai kegiatan tambahan, melainkan mata pelajaran.
"7 September 1928, untuk pertama kalinya Dr. Soetomo menjadikan tenun sebagai mata pelajaran di sekolah formal," kata Ketua Umum KADIIFA (Kadin Indonesia Internasional Fashion Art & UKM) Anna Mariana, di acara gathering Festival Tenun Songket, Kalibata, Rabu (9/8/2023).
Setiap siswa pada masa itu harus benar-benar mempelajari teknik menenun dengan serius. Kenapa? Fakta uniknya, menenun ini merupakan syarat bagi siswa yang ingin lulus dari sekolah.
BACA JUGA:
"Bahkan diadakan sebagai syarat kelulusan," ucap Anna.
Bukan tanpa alasan, teknik menenun ini tak main-main. Demi menghasilkan karya tenun terbaik, pembuatnya pun harus memiliki kesabaran hingga ketelitian yang tinggi.
"Pasalnya untuk mendapatkan hasil tenun yang baik membutuhkan ketekunan, ketelitian, kesabaran , keikhlasan. dan kesucian," ujarnya.
Ya, pada zaman itu, seseorang yang mengincar kelulusan memang harus menguasai lima poin tersebut. Bukan cuman kelulusan, siapapun yang sudah dinyatakan berhasil ikhlas, sabar, tekun, hingga teliti pun dinilai sudah pantas menikah.
"Seorang perempuan yang sudah bisa menenun dengan baik dianggap sudah mampu berkeluarga," kata Anna.
BACA JUGA:
Adapun keberadaan tenun dan songket di Indonesia sendiri dibawa oleh Situ Fatimah bin Mainum pada abad 11 silam. Beliau menyebarkan agama Islam menggunakan media tenun.
Di masa sebelum Indonesia merdeka, tenun pun sempat menjadi alat tukar. Mengingat saat itu mata uang Indonesia memang belum tercipta.
(Marieska Harya Virdhani)