JAKARTA - Supriaten merupakan seorang guru matematika di SMPN 05 Tanah Grogot, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Dia sudah mengajat selama 22 tahun mengajar.
Teknik atau cara mengajar yang ia lakukan tidaklah selalu sama. Supriaten mengajar layaknya guru-guru terdahulu, proses pembelajaran cenderung berjalan secara satu arah. Alhasil, interaksi berupa timbal balik dari murid juga menjadi minim.
Hasilnya, para murid menjadi kurang mampu bernalar dan kurang kreatif. Hal itu juga diperparah dengan adanya stigma bahwa matematika merupakan pelajaran yang menakutkan dengan guru yang terlewat tegas.
Bahkan, sebelum memasuki kelas, sudah ada keengganan tersendiri untuk belajar matematika dari sisi murid. Supriaten pun bertekad untuk mengubah stigma tersebut.
"Sebelumnya, saya merasa kalau guru merupaka aktor utama dari kegiatan belajar mengajar," kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu (1/2/2023).
Dengan pengetahuan yang ia dapatkan selama menjadi Fasilitator Daerah (Fasda) hingga menjadi Fasilitator Nasional (Fasnas) dalam program Pengembangan Inovasi untuk Kualitas Pembelajaran (Pintar) dari Tanoto Foundation, dia berhasil mengubah persepsi negatif mengenai pelajaran yang diampunya menjadi lebih positif.
Pembelajaran matematika di kelas dibuatnya menjadi lebih menyenangkan. Sang guru matematika turut mengimplementasikan metode-metade baru yang telah dipelajarinya dari partisipasinya dalam program Pintar seperti Quizziz hingga Kahoot yang lazimnya digunakan pada sesi-sesi informal, memicu rasa kompetitif serta menyenangkan bagi para murid.
Di sisi lain, Kurikulum Merdeka yang diterapkan pemerintah yang mengharuskan adanya pertanyaan pemantik sebelum kelas dimulai, Supriaten menggunakan pula Padlet dan Tricider yang dapat menjadi ajang brainstorming serta panggung komunikasi murid.
Selain itu, dirinya juga memanfaatkan alat-alat peraga yang sudah ada di kelas dan dimiliki oleh murid, yang kemudian diperbantukan untuk menciptakan proses pembelajaran yang interaktif.
Termasuk untuk mengajarkan deret bilangan, ia meminta murid-muridnya untuk berjajar di atas ubin-ubin yang ada di kelas. Dengan begitu, para murid sudah mendapatkan gambaran nyata atas teor yang mereka pelajari.
Penerapan metode yang lebih luwes itu sempat mengalami hambatan Peraturan di sekolah tempat la mengajar melarang para murid untuk membawa telepon genggam, yang justru dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran kreatif ala Supriaten.
Meski berselisih dengan aturan sekolah mengenal telepon genggam, nyatanya upaya yang la bawakan malah diapresiasi oleh pihak sekolah. Akhirnya, dengan capaian yang dibawakan Supriaten melalui metode tersebut, sekolah justru kini menjadi terbuka terhadap pembelajaran yang lebih berbasis teknologi.
Alhasil, Supriaten pun menemukan bahwa anak-anak didiknya menjadi lebih menikmati proses pembelajaran matematika, yang dibarengi dengan tumbuhnya penalaran serta kreativitas.
Hasilnya, kini mayoritas murid- murid di kelasnya menjadi menyukai pelajaran matematika. Tentunya, hal tersebut juga diiringi dengan peningkatan performa belajar yang terrefleksikan dalam peningkatan nilai mereka.
Di sisi lain, di luar pembelajaran aktif yang ia terapkan di sekolah, Supraten juga glat dalam membagikan ilmu yang telah la dapatkan ke khalayak luas. Tercatat sudah beberapa media yang menjadi wadah aktif bagi hasil buah pikirnya, baik media daring maupun media cetak, la juga mendorong murid-muridnya untuk turut memberikan dampak.
Karena itu, dirinya meminta mereka untuk mengunggah tugas-tugas berbentuk video ke media sosial agar dapat dilihat banyak orang tanpa terbatas ruang dan waktu.
Seluruh upaya yang dilakukan merupakan bagian dari tekad Supriaten untuk menjadi guru yang menyenangkan, hingga bisa dirindukan oleh para murid.
Follow Berita Okezone di Google News