Kadangkala, lanjutnya, ujaran kebencian itu tidak semata-mata akibat perilaku publik yang tidak santun dan warga sebagai citizen, lanjutnya, sering dipancing oleh elit politik yang kemudian menimbulkan reaksi publik secara emosional.
“Kan banyak elit politik yang menggunakan agama, selalu menebar frasa sebagai penanda ujaran kebencian untuk memancing respon di sosial media. Apakah salah publik jika mereka merespons balik dengan cara yang lebih vulgar, untuk melampiaskan emosinya?,” kata dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan hasil penelitiannya menunjukkan pernyataan santun para elit pun berpotensi memicu munculnya ujaran kebencian.
"Jangankan statement yang kasar dari para tokoh/elit, statement yang santun pun seringkali memicu terjadinya ujaran kebencian. Statement ini netral dalam kategori riset saya, tapi kenapa bisa ada 17 persen atau bahkan sampai 20 persen konten-konten di dalamnya yang mengandung frasa ujaran kebencian," kata dia.
Dalam penelitiannya, Atwar memberi beberapa indikator terkait perbedaan ketidaksopanan dengan ujaran kebencian. Hal ini terkait laporan Digital Civility Index (DCI) pada 2020, yang menunjukkan Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara paling tidak sopan di ruang sosial media se-Asia Tenggara.
Hasil penelitian menunjukkan tidak selamanya perilaku tidak sopan di sosial media ditunjukkan oleh adanya ujaran kebencian. Terdapat perbedaan definisi ujaran kebencian dengan ketidaksopanan.
“Ketidaksopanan itu ada beberapa indikator, ada sekitar enam atau tujuh indikator. Misalkan kita menyebut gender laki-laki atau perempuan dengan sebutan tertentu, apakah berorientasi seksual atau non seksual, itu sudah tidak sopan kalau menggunakan DCI (Digital Civility Index)" kata dia.
(Natalia Bulan)