JAKARTA – Kembang api menjadi sesuatu yang khas untuk digunakan sebagai simbol perayaan, seperti perayaan tahun baru. Lantas, bagaimana asal-usulnya?
Mengutip dari APA, banyak sejarawan percaya bahwa kembang api awalnya dikembangkan pada abad kedua SM di Liuyang kuno, Tiongkok.
Saat itu, kembang api masih alami dan berbentuk batang bambu yang dikenal sebagai "firecrackers" . Orang China percaya bahwa kembang api alami ini bisa mengusir roh jahat.
Ketika "firecrackers" dilemparkan ke dalam api, bambu itu akan meledak dengan keras. Ini dikarenakan terdapat kantong udara berongga yang terlalu panas di dalam bambu.
Kemudian selama periode 600-900 M, sejarah mengatakan bahwa seorang alkemis Cina mencampur potasium nitrat, belerang, dan arang untuk menghasilkan bubuk mesiu pertama.
Bubuk ini dituangkan ke dalam batang bambu berlubang dan membentuk kembang api buatan manusia pertama.
Sekarang, kembang api telah menjadi cara yang disukai banyak orang untuk menandai acara-acara khusus, seperti festival keagamaan, kemerdekaan, pernikahan, dan perayaan tahun baru.
Alasan Kenapa Kembang Api Digunakan saat Perayaan Tahun Baru
Banyak masyarakat di seluruh dunia yang merayakan tahun baru dengan menyalakan kembang api di 31 Desember malam menjelang 1 Januari. Ini sudah menjadi tradisi umum.
Tradisi umum lainnya saat perayaan tahun baru, seperti menyanyikan lagu untuk menyambut tahun baru Auld Lang Syne atau membuat resolusi tahun baru.
Di Amerika Serikat, bahkan ada tradisi tahun baru yang paling ikonik, yaitu menjatuhkan bola raksasa di Times Square New York City pada tengah malam.
Jutaan orang di seluruh dunia menyaksikan acara tersebut. Acara itu pun berlangsung hampir setiap tahun sejak 1907.
Mengutip dari History, tradisi perayaan tahun baru paling awal berasal dari sekitar 4.000 tahun yang lalu di Babilonia kuno.
Bagi orang Babilonia, bulan baru pertama setelah vernal equinox, yaitu hari di akhir Maret dengan jumlah sinar matahari dan kegelapan yang sama itu menandakan dimulainya tahun baru.
Mereka menandai kesempatan itu dengan festival keagamaan besar-besaran yang disebut Akitu yang melibatkan ritual berbeda pada masing-masing 11 hari.
(Natalia Bulan)