“Ketika terkena gempa kecil, bangunan tidak rusak. Ketika bangunan terkena gempa sedang, bangunan ini bisa rusak di struktur sekunder seperti dinding dan pelat tapi struktur utama tidak boleh rusak. Dan ketika terkena gempa besar, struktur utama seperti balok dan kolom boleh rusak tapi tidak boleh runtuh," imbuh pria yang menjabat sebagai Sekretaris Departemen Profesi Keinsinyuran, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya ini.
“Bangunan tahan gempa, bagi masyarakat umum, pada prinsipnya adalah sederhana dan ringan”, ujarnya.
Bangunan sederhana adalah yang beraturan, dimisalkan Ari dengan denah yang berbentuk simetris seperti kotak, dan tersedianya kolom di tiap pertemuan dinding, kolom menerus sampai bawah.
“Kolom juga harus lebih kuat dibanding baloknya,” jelasnya.
Hal ini agar kerusakan terjadi di balok, bukan di kolom. Inilah yang dimaksud dengan “rusak dengan cara yang diinginkan”. Bangunan juga harus ringan.
“Hal ini karena efek gempa pada struktur sebanding dengan berat bangunan. Berat bangunan menjadi ringan dapat dilakukan salah satunya dengan penggunaan bata ringan untuk dinding, penggunaan rangka baja ringan seperti galvalum untuk bangunan. Isi rumah juga harus dipertimbangkan, karena semakin ringan isi rumahnya, efek gempa bisa diminimalisir karena bangunannya ringan”, ujar Ari.
Kondisi tanah, jelas Ari, juga berpengaruh terhadap kekuatan gempa. Makin lunak tipe tanah, makin besar efek gempa ke bangunan.
“Kunci utama untuk pondasi bangunan adalah harus mencapai tanah keras atau tanah cadas. Sangat menjamin untuk bangunan tahan gempa. Jika tidak, maka efeknya gempanya juga akan lebih berat,” imbuh dosen Teknik Sipil ini.
Terkait material, bahan organik seperti kayu atau bambu mempunyai sifat elastisitas yang lebih dapat bertahan dalam kondisi deformasi yang besar.