SURABAYA - Masalah stunting masih menjadi pekerjaan rumah yang belum juga tuntas. Meski tingkat prevalensinya mulai menurun dari tahun ke tahun, namun penurunan tersebut terbilang tidak cukup untuk meraih target di tahun 2024.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga Prof. Dr. Sri Sumarmi menuturkan, tantangan penurunan angka prevalensi stunting salah satunya diakibatkan problematika regulasi dan data di tingkat daerah maupun pusat.
BACA JUGA: UI Edukasi Masyarakat untuk Mencegah Peningkatan Angka Stunting di NTT
Prof. Mamik, panggilan akrabnya menambahkan, ia bersama dosen maupun mahasiswa di FKM UNAIR telah sering bergerilya dalam upaya penanganan stunting di berbagai daerah. Dalam kegiatan lapangan tersebut, Prof. Mamik menemukan banyak perbedaan kontras antara data stunting nasional dengan daerah.
“Ketika daerah membuat perencanaan, yang dibutuhkan tentu datanya harus tahunan. Sementara Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar, red) hanya mengeluarkan data tiap lima tahun sekali,” katanya pada Senin (8/11/2021).
Perbedaan tersebut akhirnya mengganggu proses intervensi penanganan stunting yang membutuhkan data rutin, sementara data rutin dari pemerintah pusat jauh berbeda. Dirinya menyarankan pemerintah daerah untuk memakai dana rutin daerah. Namun dengan syarat, proses pengukuran dan analisis harus dilakukan dengan benar dan alat terstandar.
BACA JUGA: Persiapan Blended Learning, Ribuan Mahasiswa UNAIR Vaksinasi Massal
“Masalahnya, banyak daerah atau posyandu yang belum punya alat sesuai standar. Begitu pula dengan praktik pengukurannya yang masih seringkali tidak tepat,” jelasnya.
Prof. Mamik juga mengkritisi perencanaan penanganan stunting di daerah yang kebanyakan copy paste dari perencanaan tahun sebelumnya. “Kami pernah menemui itu dan diakui sendiri oleh kepala dinasnya. Mereka hanya tinggal mengganti tahun,” ucapnya.