Pada 1928, Yo Kim Tjan membawa master rekaman itu ke Eropa untuk diperbanyak di Inggris. Ketika piringan-piringan hasil cetakan itu tiba kembali di Hindia Belanda pada 1930, gramofon ini menjadi alat pertama yang memutarnya.
Sebagai pembuka dari perjalanan panjang lagu kebangsaan Indonesia yang sempat dilarang oleh pemerintah kolonial, tetapi justru kian memperkuat semangat kemerdekaan di kalangan rakyat. Gramofon ini adalah saksi dari sejarah bangsa yang bukan sekadar pemutar musik, melainkan jembatan antara teknologi, seni, dan perjuangan identitas Indonesia.
“Tahun lalu, Museum Sumpah Pemuda telah menerima replika dari piringan hitam lagu ‘Indonesia Raya’ dan hari ini, Bapak Sutjitra Djaja Pranawa, cucu Yo Kim Tjan, mewakili ahli waris keluarga Yo Kim Tjan kepada Museum Sumpah Pemuda menghibahkan gramofon yang digunakan untuk memutar dan menyebarluaskan lagu ‘Indonesia Raya’," ucapnya.
Menbud Fadli menambahkan, hibah gramofon ini menambah kelengkapan narasi sejarah tentang lagu “Indonesia Raya”. Lebih lanjut, Menbud Fadli Zon juga mendorong agar hibah ini menjadi titik awal penyusunan narasi sejarah yang lebih lengkap di Museum Sumpah Pemuda.
Dia menyampaikan pentingnya menyusun alur cerita yang menjelaskan keterkaitan antara W.R. Soepratman, Yo Kim Tjan, dan alat pemutar tersebut agar dapat dipahami secara menyeluruh oleh pengunjung museum.
Menbud Fadli menuturkan, penyebarluasan lagu "Indonesia Raya" dimulai setelah diperdengarkan pertama kali pada Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 di Jakarta.