Tindak Asusila pada Laki-laki, Sebuah Isu yang Jarang Terdengar

Opini, Jurnalis
Minggu 24 Maret 2024 17:35 WIB
Isu Tindak Asusila (Foto: Okezone)
Share :

BANDUNG - Masalah kekerasan seksual pada laki-laki, ada tapi diabaikan. Dilansir dari IJRS (28/09/21), studi satu dari enam orang menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap laki-laki kurang mendapat perhatian, laporan, dan tindak lanjut.

Kekerasan Seksual Terhadap Laki-Laki di Indonesia?

Berdasarkan data yang dirilis Kemenpppa per 11 November, terdapat 23,420 kasus kekerasan seksual, diantaranya 20.653 kasus terjadi pada perempuan, dan 4.832 pada laki-laki. Bersumber dari data Kemenpppa, kasus kekerasan seksual lazimnya dialami perempuan, namun fakta tersebut tidak bisa menafikan bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual.

Terungkap bahwa kasus kekerasan seksual pada laki-laki tertinggi terjadi pada korban remaja usia 13-17 tahun, yaitu sebesar 39,3%. Jika meninjau tahun tahun sebelumnya, pada tahun 2017 kekerasan seksual terhadap laki-laki pernah mengalami lonjakan yang signifikan, yaitu sebesar 8,3%, dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan kasus kekerasan seksual pada perempuan yang hanya mencapai 4,1%.

Lebih lanjut, Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pernah mengadakan survei terkait kekerasan seksual yang terjadi semasa COVID-19.

Hasilnya mengejutkan. 3 dari 10 laki-laki mengaku mengalami pelecehan seksual di ruang publik. 44 responden bahkan melaporkan bahwa pelaku pelecehan adalah bagian dari tenaga kesehatan. Data-data tersebut menunjukan bahwa kasus kekerasan seksual laki-laki hingga saat ini masih menjadi lingkaran yang tak berujung.

Eva selaku petugas LBH Persada dalam wawancara di hari Sabtu (11/11/2024) turut menjelaskan terkait kekerasan seksual yang terjadi pada laki-laki.

“Korban tidak punya punya keberanian untuk melaporkannya,” jelas Eva.

Menurutnya ada banyak faktor yang menyebabkan kekerasan seksual terhadap laki-laki jarang terungkap. Beberapa diantaranya yaitu karena korban seringkali kehilangan kepercayaan diri dan menganggap kekerasan seksual yang dialaminya merupakan aib.

Kekerasan seksual juga kerap kali dilakukan oleh orang-orang terdekat sehingga sulit bagi korban untuk melaporkannya. Sering kali pelaku merupakan saudara sendiri. Bahkan hingga sosok yang selalu dianggap paling bermoral, seperti guru atau ustad.

“Jenis kekerasan seksual yang paling sering kami tangani biasanya pelakunya dari sesama jenis. Biasanya mereka melakukan sodomi terhadap korbannya,” jelas Eva.

Selain Eva, Wawan yang juga bagian dari LPA menambahkan bahwa pelaku pelecehan seksual sangat beragam. Dari anak remaja hingga orang tua. Bahkan ada juga kasus yang dilakukan oleh teman sebaya korban sendiri. Dari semua kasus yang ada, kekerasan seksual terhadap laki-laki didominasi oleh kategori pedofil.

“Karena kekerasan itu terjadi dari yang high power kepada yang low power. Mereka mereka yang lemah dalam segi IQ, fisik, pola pikir (berakhir) hingga menjadi sasaran,” Jelas Wawan.

Korban juga kerap mendapat intimidasi dari pelaku sehingga membuatnya takut dan enggan untuk melapor.

Meina Shiamullaeli, seorang psikolog yang turut menangani kasus kekerasan seksual juga memberikan penuturan terkait topik ini. Meina mejelaskan bahwa ada sebuah perbedaan pola kekerasan seksual yang dialami oleh laki-laki dan perempuan.

Salah satunya adalah bahwa kekerasan seksual yang dialami perempuan biasanya dilakukan oleh banyak orang dengan satu korban wanita. Sementara kekerasan yang terjadi pada laki-laki biasanya dilakukan oleh satu orang kepada banyak korban laki-laki.

Kekarasan Seksual Lewat Kaca Psikologis

Meina menjelaskan bahwa kekerasan seksual yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa pemicu, salah satunya adalah faktor traumatis yang berkaitan dengan sexual abuse. Faktor traumatis berbau sexual abuse bisa diartikan bahwa pelaku kemungkinan pernah mendapat perlakuan serupa di masa lalu. Hal itu yang kemudian memicunya untuk melakukan perbuatan yang sama pada orang lain.

“Adanya luka atau pengalaman tidak menyenangkan ketika ia sedang di masa kecil atau masa perkembangan,” tutur Meina.

Kekerasan seksual seperti ini cenderung bergerak seperti lingkaran setan. Terus menerus berputar di tempat yang sama. Seseorang akan menjadi korban dari kekerasan seksual dan akan menerapkannya pada orang lain di masa mendatang. Selalu berulang seperti itu jika tidak diambil tindakan lain atau dihentikan.

Meina menjelaskan banyak dari korban tidak menyadari bahwa mereka baru saja mengalami kekerasan seksual. Baru kemudian, ketika dewasa dan mulai berpikir, korban baru akan menyadari hal tersebut. Tapi ketika mereka sadar bahwa mereka adalah korban, mereka malah akan merasa minder, kehilangan kepercayaan diri, bahkan hingga menarik diri dari lingkungan sosial.

Maka dari itu, Meina menjelaskan pentingnya bimbingan dan dukungan dari orang-orang sekitar maupun professional, seperti support system dari keluarga atau konseling dan terapi pada ahlinya. Dengan bantuan-bantuan psikologis dan fisik, lingkaran setan tercipta akibat kekerasan seksual yang dialami dapat terhenti.

Faktor lainnya yang menyebabkan kekerasan seksual menurut Meina adalah penggunaan media sosial yang mengarah pada pornografi.

“Yang paling berpengaruh sekarang adalah penggunaan media sosial lewat tayangan-tanyangan yang muncul di beranda, iklan-iklan, dan video-video berbau pornografi,” ungkap Meina.

Kasus Nyata Kekerasan Seksual Terhadap Laki-Laki?

Eva turut menceritakan salah satu kasus yang pernah ia tangani di LBH tempatnya berkerja. Menurut keterangan Eva, pernah ada seorang suami yang melapor ke LBH atas kasus eksploitasi seksual yang dilakukan oleh istrinya. Korban mengaku merasa tidak nyaman dan sudah tidak tahan lagi. Ia setiap malam kerap dipaksa untuk meminum obat kuat untuk berhubungan badan dengan istrinya yang mengalami hyperseks.

Dari perilaku tersebut, sang suami merasa tersiksa dengan kondisinya dan bahkan mengalami gangguan fungsi jantung akibat obat kuat yang ia konsumsi. Hingga pada puncaknya, korban meminta pendampingan dari LBH dalam menangani kasusnya.

“Langkah kami untuk memberikan pendampingan seperti ini adalah mencoba memediasi mereka,” jelas Eva.

LBH melakukan berbagai upaya dalam memediasi keduanya serta terus mendampingi sang suami agar mendapat jalan keluar. LBH terus memberikan pengertian pada kedua belah pihak.

Pada akhirnya sang suami menolak untuk melaporkan istrinya ke ranah hukum pidana dan memilih untuk menyelesaikannya di pengadilan agama. Kasus ini berakhir dengan perceraian.

Wawan juga turut memaparkan salah satu kasus yang pernah ditanganinya. Kejadian ini melibatkan 4 orang anak di bawah umur sebagai korban dan satu pelaku berumur 21 tahun. Kekerasan seksual ini terjadi di lingkungan pesantren.

Pada awalnya, keempat korban tidak bercerita mengenai kekerasan yang dialaminya. Hingga salah satu orangtua korban merasa curiga karena anaknya kerap mengeluhkan sakit.

Setelah orangtua korban melapor pada P2TP2A, mulailah diambil tindakan. Sang anak mendapatkan pendampingan dari LBH dan psikolog.

“Pelakunya adalah waktu kecil, dulu mereka pernah dilakukan seperti itu. Sehingga mereka berbuat lagi kepada orang lain,” ungkap Wawan.

Menurut keterangannya, pelaku tidak merasa bahwa apa yang ia lakukan merupakan kekerasan. Hal ini dilandasi karena di masa kecilnya, ia juga kerap mendapat perlakuan yang sama.

Bagaimana Hukum Perlindungan Kekerasan Seksual Terhadap Laki-Laki?

Perlindungan kekerasan seksual di Indonesia diatur pada BAB XIV KUHP mengenai Kejahatan terhadap Kesusilaan. Dari pasal-pasal yang ada pada Bab tersebut, Pasal 285-288 mengacu secara

tertentu. IJRS juga menganggap bahwa tidak ada perlindungan hukum yang komprehensif bagi korban laki-laki selayaknya perempuan.

“Menurut pandangan kami, hukum mengenai kekerasan seksual belum cukup meng-cover secara maksimal apalagi jika melihat dampak kekerasan yang dialami korban,” terang Eva.

Eva juga menganggap hukum yang diberikan pada pelaku tidak setimpal dengan dampak yang diberikan pada korban paska kekerasan seksual yang dialami. Hukum yang ada dianggap terlalu ringan dan tidak menimbulkan efek jera. Terlebih masih banyak aparat penegak hukum yang kurang memiliki kesadaran dan belum serius dalam menganggapi kasus kekerasan seksual. Hal ini malah memberikan rasa aman dan keleluasaan bagi para pelaku untuk melancarkan lagi aksinya.

Dalam menghadapi hukum di Indonesia ini, Eva dan para petugas lainnya di LBH akan terus berupaya untuk membantu mendampingi korban bahkan dari sisi dukungan sosial.

Apa yang Dialami Korban dan Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Berbanding terbalik dengan hukuman ringan berjangka pendek yang diterima pelaku, dampak yang didapatkan oleh korban dari kebejatan kekerasan seksual sangat parah dan panjang. Korban seringkali menganggap kekerasan yang dialami merupakan sebuah aib yang wajib untuk ditutup rapat-rapat. Tak jarang korban memilih untuk menarik diri dari lingkunga sosial dengan menjadi pribadi yang lebih tertutup.

Korban merasa takut dan terintimidasi. Lebih parah lagi jika kekerasan yang dialami membuat korban berubah juga menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap orang lain atau berujung pada depresi dan penyakit mental lainnya.

Maka dari itu, penting bagi masyarakat untuk memahami dan menyadari pentingnya isu kekerasan seksual yang dialami seseorang, baik laki-laki atau perempuan. Tak sedikit orang yang enggan melapor hanya karena takut dengan respon lingkungannya jika mengetahui kekerasan seksual yang dialaminya.

LBH sendiri sudah mulai gencar dalam melakukan penyuluhan terhadap masyarakat terkait kekerasan seksual. Evi menghimbau masyarakat untuk terus meningkatkan keimanan kepada tuhan dengan memperbaiki ahlak lewat pembelajaran dan penerapan norma agama, adat stiadat, serta memunculkan hubungan sehat di lingkungan sekitar.

“Harapan kita tentunya baik dari lingkungan yang paling kecil, seperti keluarga, RT, RW, Desa, Camat, Bupati, Provinsi, hingga di negara, harus bisa memberikan rasa nyaman dan aman terhadap warga Negara Indonesia. Pemerintah dan semua unsur masyarakat harus bersatu dan bersinergi bersama-sama menciptakan menciptakan lingkungan yang nyaman hingga setidaknya bisa meminimalisir kasus-kasus yang ada di negara kita,” tutup Wawan dalam wawancaranya.

Penulis

Puteri Salsabila dan Wilda Riva Fadhilah

(Taufik Fajar)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Edukasi lainnya