2. Haji Goni
Kalau musim Agustusan, Haji Goni rela tanah lapangannya yang luas menjadi arena untuk berbagai kegiatan. Yang paling sering adalah untuk panjat pinang. Kadang karena fisiknya yang masih kuat saat itu, Ia juga ikut manjat untuk meramaikan suasana.
Selain tanah lapangnya, empangnya juga menjadi salah satu arena buat lomba gebuk bantal. Setelah air empangnya keruh, warga setempat pun diperbolehkan mengambil ikannya yang mangap-mangap karena mabuk. Sungguh dermawan memang Haji Goni pada masa itu.
Perubahannya menjadi pribadi yang seperti sekarang, sensitif, gampang marah, dan baperan bukan tanpa alasan. Ia merupakan penduduk asli dari tempat tersebut. Dari nenek buyutnya pun sudah menempati tanah yang sama berpuluh-puluh tahun.
Hingga suatu masa tibalah pembangunan di Ibukota merajalela. Gedung-gedung mulai berlomba siapa yang paling tinggi untuk bisa menyentuh awan. Lahan-lahan kosong mulai dibersihkan untuk pembangunan yang marak itu. Lahan milik Haji Goni pun menjadi salah satu targetnya.
Pernah beberapa orang perwakilan dari perusahaan dan pemerintahan setempat mendatanginya dan mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali caci maki.
“Kagak bakalan gua kasih. Dari nenek buyut gue semuanya udah tinggal dan hidup di sini dari dulu. Kagak, nggak mau gua. Gua kagak bisa dibego-begoin.”
Orang-orang itu pun pergi dengan tangan hampa. Lembaran surat tanpa tandatangan Haji Goni terpaksa dibawa lagi ke kantor.
Kebanyakan sanak saudaranya yang juga memiliki tanah luas kalap dengan penawaran tinggi dari para kontraktor. Tak pikir panjang mereka menjual tanah warisan dari orang tua. Bahkan ada pula yang tega menjual rumah yang biasa ditinggali dan lebih memilih pindah ke pinggiran pun ada pula yang jahanam menjual aset orang tua demi uang yang gampang raib untuk belanja ini-itu, pergi kesana-kesini.
Saat banyak lahan di kampung-kampung sebelah jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan, Haji Goni keukeuh dengan lahannya. Ia jadi lebih sering mengurung diri di rumah karena tidak tahan melihat langit yang dulu begitu biru nan elok, kini terhalang pencakar langit bak raksasa yang siap menghancurkan rumah-rumah kecil di sekitarnya.
Latar belakang penulis
Penulis tinggal di perkotaan saat cerpen ini ditulis
Latar belakang masyarakat
Masyarakat pinggiran ibukota yang terpinggirkan
Nilai yang ada
Pentingnya menjaga tanah peninggalan leluhur
(RIN)
(Rani Hardjanti)