JAKARTA - Puisi Sapardi Djoko Damono selalu menyentuh hati penggemar karya sastra. Siapa yang tidak kenal dengan Sapardi Djoko Damono? Sastrawan besar Indonesia yang melekat dengan puisinya, ‘Hujan Bulan Juni’ yang ikonik. Karya-karyanya yang tak lekang oleh waktu tetap dinikmati oleh pecinta sastra di Indonesia, meski dirinya sudah tidak ada di dunia.
Sapardi juga dikenal dekat dengan dunia pendidikan. Sepanjang hidup pria lulusan Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada itu dihabiskan untuk menjadi dosen sastra di berbagai universitas, salah satunya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Selain Hujan Bulan Juni, beberapa karyanya yang lain juga dikenal luas oleh para pembaca dan penyuka sastra seperti sajak Aku Ingin, Yang Fana Adalah Waktu, dan masih banyak lagi. Karya-karyanya juga pernah diangkat ke layar lebar dan banyak menjadi inspirasi seniman dan musisi di Indonesia.
Tulisan dari tangan Sapardi memang dikenal romantisnya yang relate dengan perasaan anak muda. Dilansir dari berbagai sumber pada Kamis (14/9/2023), berikut ini merupakan karya-karya Sapardi Djoko Damono yang indah.
9 Kumpulan Puisi Karya Sapardi Djoko Damono
Hujan Bulan Juni (1989)
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Aku Ingin (1989)
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Yang Fana Adalah Waktu (1978)
Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
Pada Suatu Hari Nanti (1991)
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
Sajak Kecil Tentang Cinta (1984)
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput;
Nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;
Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Kuhentikan Hujan (1980)
Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan
Ada yang berdenyut dalam diriku
Menembus tanah basah
Dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak
Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga
Tentang Matahari (1971)
Matahari yang ada di atas kepalamu itu
Adalah balon gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kauterima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
“Ini matahari! Ini matahari!”
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayangmu itu.
BACA JUGA:
Sementara Kita Saling Berbisik (1966)
Sementara kita saling berbisik
untuk lebih lama tinggal
pada debu, cinta yang tinggal berupa
bunga kertas dan lintasan angka-angka
ketika kita saling berbisik
di luar semakin sengit malam hari
memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa
unggun api
sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi.
Akulah Si Telaga (1982)
akulah si telaga:
berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil
yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
perahumu biar aku yang menjaganya.
(Marieska Harya Virdhani)