9 Puisi Sapardi Djoko Damono, Sastrawan Hujan Bulan Juni

Salsyabila Sukmaningrum, Jurnalis
Kamis 14 September 2023 19:20 WIB
Puisi Sapardi Djoko Darmono (Foto: Freepik)
Share :

JAKARTA - Puisi Sapardi Djoko Damono selalu menyentuh hati penggemar karya sastra. Siapa yang tidak kenal dengan Sapardi Djoko Damono? Sastrawan besar Indonesia yang melekat dengan puisinya, ‘Hujan Bulan Juni’ yang ikonik. Karya-karyanya yang tak lekang oleh waktu tetap dinikmati oleh pecinta sastra di Indonesia, meski dirinya sudah tidak ada di dunia.

Sapardi juga dikenal dekat dengan dunia pendidikan. Sepanjang hidup pria lulusan Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada itu dihabiskan untuk menjadi dosen sastra di berbagai universitas, salah satunya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Selain Hujan Bulan Juni, beberapa karyanya yang lain juga dikenal luas oleh para pembaca dan penyuka sastra seperti sajak Aku Ingin, Yang Fana Adalah Waktu, dan masih banyak lagi. Karya-karyanya juga pernah diangkat ke layar lebar dan banyak menjadi inspirasi seniman dan musisi di Indonesia.

Tulisan dari tangan Sapardi memang dikenal romantisnya yang relate dengan perasaan anak muda. Dilansir dari berbagai sumber pada Kamis (14/9/2023), berikut ini merupakan karya-karya Sapardi Djoko Damono yang indah.

9 Kumpulan Puisi Karya Sapardi Djoko Damono

Hujan Bulan Juni (1989)

tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

Aku Ingin (1989)

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Yang Fana Adalah Waktu (1978)

Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik,

merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa

“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.

Kita abadi.

 

Pada Suatu Hari Nanti (1991)

Pada suatu hari nanti,

Jasadku tak akan ada lagi,

Tapi dalam bait-bait sajak ini,

Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,

Suaraku tak terdengar lagi,

Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,

Pada suatu hari nanti,

Impianku pun tak dikenal lagi,

Namun di sela-sela huruf sajak ini,

Kau tak akan letih-letihnya kucari.

Sajak Kecil Tentang Cinta (1984)

Hatiku selembar daun

melayang jatuh di rumput;

Nanti dulu,

biarkan aku sejenak terbaring di sini;

ada yang masih ingin kupandang,

yang selama ini senantiasa luput;

Sesaat adalah abadi

sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

Kuhentikan Hujan (1980)

Kuhentikan hujan

Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan

Ada yang berdenyut dalam diriku

Menembus tanah basah

Dendam yang dihamilkan hujan

Dan cahaya matahari

Tak bisa kutolak

Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga

Tentang Matahari (1971)

Matahari yang ada di atas kepalamu itu

Adalah balon gas yang terlepas dari tanganmu

waktu kau kecil, adalah bola lampu

yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat

yang teratur kauterima dari sebuah Alamat,

adalah jam weker yang berdering

saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan

yang dituding anak kecil itu sambil berkata:

“Ini matahari! Ini matahari!”

Matahari itu? Ia memang di atas sana

supaya selamanya kau menghela

bayang-bayangmu itu.

 BACA JUGA:

 

Sementara Kita Saling Berbisik (1966)

Sementara kita saling berbisik

untuk lebih lama tinggal

pada debu, cinta yang tinggal berupa

bunga kertas dan lintasan angka-angka

ketika kita saling berbisik

di luar semakin sengit malam hari

memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa

unggun api

sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi.

Akulah Si Telaga (1982)

 

akulah si telaga:

berlayarlah di atasnya;

berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil

yang menggerakkan bunga-bunga padma;

berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;

sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja

perahumu biar aku yang menjaganya.

(Marieska Harya Virdhani)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Edukasi lainnya