“Yang disebut gawat darurat adalah bahwa kemampuan matematika tidak berkembang seiring bertambahnya tingkat sekolah yang diikuti anak-anak dan penurunan yang terjadi dari tahun ke tahun,” ujar peneliti RISE Niken Rarasati. Niken juga mengkhawatirkan terjadinya stagnasi kemampuan siswa seiring meningkatnya jenjang pendidikan. Tak hanya itu ada kecenderungan terjadi penurunan kemampuan siswa secara bertahap dari tahun 2000 ke tahun 2014.
Baca Juga : Profesor ITB Tunjukan Seni Memecahkan Masalah dengan Matematika
Praktisi pendidikan Indra Charismiadji berpendapat, hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanyaan 1/3 dikurangi 1/6 anak usia 8 tahun yang mampu menjawab hanya 2,9%, anak usia 18 tahun hanya 8,9%, dan yang berusia 28 tahun yang bisa menjawab pertanyaan itu hanya 6,8%.
“Jadi soal perhitungan dasar saja (kemampuan matematika) sudah parah banget,” katanya.
Indra berpendapat, guru jangan lagi fokus pada pengajaran materi, tetapi ke skill. Juga jangan mengejar prestasi atas dasar angka, sebab percuma anak mendapat nilai 100, tetapi tidak memiliki kemampuan apa-apa.
Oleh karena itu dia mengharapkan mereka mengajari anak agar mampu menghitung yang kemudian digunakan dalam keseharian. Sebab masalah yang terjadi di Indonesia adalah mereka bisa menghafal soal hitungan seperti satu tambah satu dan seterusnya. Namun saat dihadapkan pada soal hitungan cerita mereka kebingungan.
“Tantangan terbesar kita ialah pada guru. Mereka tidak paham. Kepala daerah juga tidak paham. Misalnya daerah masih mengejar target kelulusan UN (ujian nasional) 100%,” jelasnya.