Pahlawan = Man of Thought, Man of Action & Man of Inspiration

Marieska Harya Virdhani, Jurnalis
Senin 10 November 2014 00:01 WIB
Pengajar luar biasa Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Saleh As’ad Djamhari
Share :

DEPOK - Pengajar luar biasa Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Saleh As’ad Djamhari (76) memaparkan tiga kriteria pahlawan

"Bicara tentang nilai kepahlawanan seperti dikutip oleh Sidney Hook bahwa pahlawan adalah Man of Thought, manusia yang menghasilkan pemikiran. Lalu Man of Action dan Man of Inspiration. Generasi muda harus mampu mengimplementasikan tiga hal itu dengan mengikuti perkembangan zaman," ujar lulusan Sekolah Perwira Wajib Militer ABRI tahun 1967 ini kepada Okezone.

Dia menuturkan, Hari Pahlawan merupakan momentum yang dahsyat berupa panggilan suci dari kaum muda Indonesia untuk membela Tanah Air. 'Merdeka atau Mati' menjadi semboyan yang selalu dipekikkan untuk melecut semangat para pejuang seperti kala Revolusi Prancis bergolak.

Lantaran itu dia mengingatkan kembali kesadaran para generasi muda untuk meneladani perjuangan para pahlawan melalui studi sejarah militer dan sejarah perang yang digelutinya.

"Wajib meneladani semangat pahlawan dalam zaman yang berbeda. Ada namanya Jiwa Zaman, dimana konteksnya berbeda zaman telah berubah sebab sejarah itu berubah, perubahan dan kesinambungan," katanya.

Saleh bukan sekadar berteori. Pria yang lahir 12 Maret 1938 di Malang, Jawa Timur ini menempuh proses berliku untuk menemukan suatu makna kepahlawanan yang ia paparkan panjang tadi.

Dimulai dari sosok sang ayah, Djamhari yang menjadi kiai kampung Nahdatul Ulama, namun direkrut menjadi tentara Pembela Tanah Air (Peta). Ia pertama kali menemukan semangat kepahlawanan saat melihat ayahnya menjadi komandan kompi dan ikut berjuang.

Selepas SMA Negeri Bagian A, Malang pada 1955-1962, Saleh pun memilih Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1962-1965.

Saleh lulus sebagai mahasiswa UI pada saat detik - detik pemberontakan Gerakan 30 September (G30S) meletus. Ia diwisuda dihadiri terakhir kalinya oleh Presiden Soekarno pada 28 September 1965.

Setelah itu, meletuslah G30S yang diwarnai penculikan dan pembunuhan para perwira tentara Angkatan Darat. "Saya mengikuti sekolah Perwira Wajib Militer ABRI tahun 1967 lalu Kursus Kader Sejarah ABRI V/Khusus pada 1974,” jelas Saleh.

Ketertarikannya mengikuti wamil karena ajakan akademisi Nugroho Notosusanto yang kala itu menjabat sebagai Kepala Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata. Saleh ingat, Nugroho berkata bahwa lebih baik kalau bergaul dengan tentara, harus ikut jadi tentara.

Semuanya dilakoni beriringan antara karier militer dengan akademisi. Hingga pensiun medio tahun 1997 dengan pangkat terakhir sebagai kolonel. Saleh juga melanjutkan studi Program Pascasarjana Studi Ilmu Sejarah (S3) di Universitas Indonesia pada 1997-2002.

Ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Biro Sejarah Perang Kemerdekaan, Pusat Sejarah ABRI pada 1974 dan Kepala Dinas Penelitian dan Penulisan Pusat Sejarah ABRI.

Saleh menyebutkan bahwa tentara merupakan bagian dari sejarah. Ia selalu mengajarkan tentang perjalanan organisasi dan segala aktivitas militer. "Jika generasi muda mampu mengimplementasikan tiga hal itu dengan mengikuti perkembangan zaman," tutupnya.

(Muhammad Saifullah )

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Edukasi lainnya