MEDIA menjadi sebuah alat yang sangat berpengaruh bagi masyarakat dalam menggali informasi. Dengan banyaknya sebuah topik atau informasi yang disampaikan oleh beberapa media, maka semakin banyak masyarakat yang menganggap bahwa hal tersebut menjadi sebuah isu yang penting dan perlu menjadi perhatian.
Media dapat menggerakkan publik dalam bersikap atau memberikan opini dari hasil informasi yang di dapat setelah menyaksikan atau menyimak sebuah berita yang tersampaikan melalui media. Hal tersebut membuat adanya perbedaan persepktif dari setiap orang dalam menanggapi sebuah berita atau informasi yang sudah ditemukan.
Hal tersebut dalam komunikasi media massa disebut dengan Teori Agenda Setting. Menurut Maxwell McComb dan Donald Shaw Teori Agenda Setting adalah sebuah teori yang dimana media massa mempunyai kemampuan untuk memindahkan wacana dalam agenda pemberitaan kepada agenda publik (Romli Khomsarial, 2016).
Maxwell McComb memandang bahwa media massa memiliki kekuatan untuk memengaruhi agenda media kepada agenda publik. Publik cenderung menilai sesuatu itu penting sebagaimana media massa menganggap hal tersebut penting. Jika media massa menganggap suatu isu itu penting, maka publik juga akan menganggapnya penting (Griffin, 2012).
Asumsi dari teori tersebut adalah sebagai berikut:
1. Media menetapkan agenda dan dalam melakukannya tidak hanya merefleksikan realitas, namun juga membentuk dan menyerang realitas untuk publik.
2. Konsentrasi media pada masalah yang mengisi agenda akan memengaruhi agenda publik dan secara bersamaan memengaruhi agenda pengambil kebijakan.
3. Publik dan pengambil kebiijakan memiliki kemungkinan untuk memengaruhi agenda media juga (Richard West dan Lynn H. Turner, 2017).
Penetapan agenda oleh media dipengaruhi oleh bias terhadap berbagai aspek seperti politik, ekonomi, budaya, dan lainnya. Publik cenderung melihat suatu isu sebagai lebih penting ketika isu tersebut mendapat liputan media yang lebih intensif (efek keunggulan isu).
Sebagai contoh, meskipun publik awalnya tidak memiliki pandangan yang kuat mengenai keputusan MK (Mahkamah Konstitusi), mereka akan menganggapnya sebagai masalah mendesak jika media secara konsisten membahasnya selama beberapa waktu. (Rodrigo Zamith, 2022).
Belum lama ini, melalui media sosial (Instagram, X, tiktok, dll) maupun media massa melalui saluran televisi, radio, dan lainnya membahas terkait dengan kebijakan Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa adanya kontroversi syarat pencalonan kepala daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah merespons keputusan tersebut menimbulkan adanya pertentangan yang keras.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan revisi UU Pilkada yang tetap mempertahankan ambang batas dan mengubah syarat usia sesuai pelantikan, namun tidak begitu dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal tersebut membuat masyarakat Indonesia menjadi geger dan menimbulkan adanya demo aksi nyata dari berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa, buruh, para politikus, artis, stand up comedy, dan masih banyak lagi yang ikut turun ke jalan untuk membela demokrasi dengan adil.
Banyaknya perbedaan pandangan dan penilaian dari Masyarakat Indonesia terkait isu tersebut, sehingga membuat adanya ketegangan yang panas seperti api membara untuk Masyarakat Indonesia.
Demo aksi nyata yang dilakukan oleh beberapa Masyarakat Indonesia, sebagai bentuk pembelaan dan pembuktian bahwa tidak ingin adanya demokrasi nepotisme, sehingga memperjuangkan untuk pembelaan dengan melakukan aksi nyata.
Demikian pada saat sedang gencarnya media massa ramai memberitakan isu tersebut, terdapat isu baru yang mengundang perhatian juga bagi publik.
Terjadi sebuah kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh istri seorang pemain bola dengan selebgram. Isu tersebut ramai diperbincangkan oleh publik. Mulai dari isu komunikasi atau obrolan melalui saluran WhatsApp yang dilakukan oleh 2 pihak tersebut sudah tersebar di berbagai kanal media, bagaimana cara ia bersosialisasi dengan lawan jenis, dan sikap lain sebagainya yang menimbulkan adanya pandangan negatif dari beberapa publik.
Namun, ada yang mengatakan bahwa isu tersebut merupakan hoax yang disebarkan oleh salah satu selebgram sehingga isu tersebut tidak benar adanya.
Ada beberapa media yang masih tetap membahas isu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait usia pencalonan kepala daerah dan pergerakan demo aksi nyata yang dilakukan oleh beberapa Masyarakat Indonesia, ada juga media yang membahas isu perselingkuhan tersebut.
Sehingga, isu perselingkuhan tersebut menjadi sebuah pengalihan isu lainnya terkait dengan hal yang sedang ramai diperbincangkan.
Mulai dari situ sebuah opini publik bergerak untuk menentukan penilaian terhadap isu mana yang lebih penting untuk diperbincangkan dan diperhatikan atau untuk melakukan sebuah aksi.
Dengan demikian, hal tersebut jika dalam komunikasi media massa seperti sebuah studi kasus dari Teori Agenda Setting.
Media massa sangat berpengaruh bagi publik dalam memberikan informasi. Apa yang dianggap penting oleh media, maka publik juga menganggap penting.
Dari kejadian di atas, maka menjadi sebuah pilihan bagi publik untuk memberikan penilaian terhadap ketegangan yang sedang terjadi. Apakah lebih baik membela demokrasi dengan terus menyebarkan stories atau upload “burung biru” peduli demokrasi melalui media sosial (Instagram, X, Facebook, dll) atau membuat thread gosip terkait isu perselingkuhan. Pilihan ada di tangan publik bagaimana menanggapi sebuah isu tersebut yang disampaikan oleh media massa.
Penulis :
Nada Shofiyah
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPN VJ)
(Dani Jumadil Akhir)