 
                JAKARTA - Bung Tomo selalu ada di hati rakyat Indonesia setiap kali peringatan Hari Pahlawan Nasional 10 November. Di momen Hari Pahlawan Nasional yang akan datang, perlu kamu ketahui profil para pahlawan terdahulu, khususnya Bung Tomo.
Setiap tanggal 10 November, Indonesia memperingati Hari Pahlawan Nasional. Tanggal tersebut ditetapkan tak jauh dari latar belakang sejarah, Pertempuran Surabaya melawan Pasukan Belanda (NICA) tahun 1945 di Surabaya di tanggal yang sama.
Sosok Bung Tomo jadi salah satu tokoh yang melekat dengan hari besar ini karena dirinya merupakan salah tokoh penting dalam Pertempuran Surabaya. Sebagai simbol pemuda kala itu, Bung Tomo yang membara menularkan semangatnya untuk melawan penjajahan.
BACA JUGA:
Dikutip dari berbagai sumber, Jumat (10/11/2023), Bung Tomo yang bernama asli Sutomo merupakan kelahiran Surabaya, 3 Oktober 1920. Dirinya lahir dari keluarga menengah pada masa itu. Masa kecilnya dihabiskan di Kota Surabaya.
Karena berada dalam lingkungan priyayi, pendidikan sangatlah penting dalam keluarganya. Terlebih, pribadi Sutomo juga seorang yang pekerja keras dan tidak mudah menyerah. Sutomo mengenyam pendidikan pertama kali diSekolah Rakyat atau Hollandsch Inlandsche School (HIS).
BACA JUGA:
Setelah lulus dari HIS, Sutomo melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Sekolah ini merupakan lembaga pendidikan formal setingkat SMP pada zaman kolonial.
Di MULO, Sutomo banyak mempelajari Bahasa Belanda yang digunakan sebagai bahasa pengantar sekolah nya. Kemudian ia juga belajar matematika, ilmu sosial, sejarah, Bahasa Jerman, Prancis, Inggris dan beberapa pelajaran lainnya.
Dari situ, pengetahuannya semakin luas. Ia juga mulai berpikir kritis dan memiliki semangat dalam menyuarakan keresahannya. Hingga akhirnya mulai banyak mempelajari hal-hal diluar sekolahnya.
Karena jenuh, Bung Tomo memutuskan tidak melanjutkan sekolahnya di MULO dan masuk ke HBS (Hogere Burgere School). Sekolah ini setara dengan SMP dan SMA di masa kini. Selama di HBS, perkembangan pemikiran kritisnya sangat pesat. Ia merasakan bahwa pendidikan sistem kolonial sangat diskriminatif dan tidak adil pada kaum pribumi. Dari situ, rasa nasionalisme nya mulai bangun.
Berada di keluarga yang mementingkan pendidikan, Bung Tomo juga melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi meski awalnya hanya ingin fokus ke pergerakan rakyat. Keluarga Bung Tomo memutuskan dirinya untuk berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sebenarnya ini bukanlah minatnya, karena ia lebih menyukai hal-hal sosial kemasyarakatan.
Selama berkuliah, ia banyak mengikuti kegiatan aktivis dan pergerakan nasional. Ia memberi contoh pada teman-teman seperjuangannya untuk ikut menyuarakan kesengsaraan di bawah tangan penjajah.
Ia sering bolos kelas untuk mengikuti kegiatan pergerakan. Semangat Bung Tomo untuk melawan balik penjajah semakin muncul ketika jauh dari keluarganya yang berada di Surabaya.
Bung Tomo akhirnya lulus dan sempat bekerja di instansi pemerintah kala itu, staf perusahaan swasta, asisten kantor pajak, hingga menjadi pegawai di kantor ekspor-impor milik Belanda.
Semangat dalam berpolitik dan pergerakannya timbul ketika ia memutuskan fokus dalam bergabung dengan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Memasuki usia 17 tahun, ia meraih tingkat Pandu Garuda di KBI. Dengan pangkat tersebut, ia mulai dikenal oleh banyak orang. Ia juga aktif dalam bidang kepenulisan dan menjadi jurnalis lepas surat kabar Suara Umum. Ia kemudian diangkat menjadi redaktur mingguan Pembela Rakyat.
Ia kemudian bekerja di kantor berita Antara, bagian bahasa Indonesia untuk wilayah Jawa Timur. Ia juga diangkat menjadi kepala kantor berita Antara di Surabaya pada usia 25 tahun. Pada saat Indonesia merdeka, ia memberitakannya dalam bahasa Jawa agar tidak kena sensor oleh penjajah Jepang.