JAKARTA - Antartika semakin terdampak pemanasan global. Para ilmuwan telah menemukan tumbuhan berbunga, lumut, dan ganggang menyebar luas. Es laut yang terapung telah mencapai rekor terendah. Perubahan dramatis ini terjadi bersamaan dengan meningkatnya suhu di musim panas.
Pada tahun 2022, para peneliti di Universitas Washington (UW) mencatat gelombang panas terbesar yang pernah melanda Antartika. Pada bulan Maret, suhu di dekat kutub selatan mencapai 39 °C di atas normal selama tiga hari berturut-turut, mencapai puncaknya -10 °C (14 °F).
“Ini adalah anomali suhu terpanas yang tercatat di seluruh dunia, kata Edward Blanchard-Wrigglesworth,” kata ilmuwan atmosfer dan penulis pertama makalah yang diterbitkan oleh tim UW, kepada Kasha Patel di The Washington Post.
Dilansir dari Science Alert, Selasa (26/9/2023), beberapa timnya yang bekerja di Antartika pada saat itu tampaknya cukup hangat hingga mengenakan celana pendek dan bahkan bertelanjang dada di bawah sinar matahari. Momen seperti ini memperjelas bahwa Antartika tidak kebal terhadap krisis iklim, seperti yang pernah dipikirkan beberapa ilmuwan.
Untuk mengetahui seberapa besar gelombang panas yang terjadi di Antartika baru-baru ini disebabkan oleh perubahan iklim, tim dari UW menggunakan 'pendekatan alur cerita'. Strategi pemodelan ini bergantung pada “terkuaknya kejadian-kejadian di masa lalu, atau kejadian-kejadian atau jalur-jalur yang masuk akal di masa depan” untuk mereproduksi kejadian-kejadian iklim saat ini.
“Kami menemukan bahwa perubahan iklim selama satu abad terakhir memperkuat gelombang panas sebesar 2 °C, sementara gelombang panas yang setara pada tahun 2096 akan menjadi lebih hangat 6 °C dibandingkan tahun 2022 (8 °C dibandingkan tahun 1922),” tulis Blanchard-Wrigglesworth dan rekan kerja. Skenario masa depan tersebut dapat membawa suhu di Antartika pada bulan Maret mendekati titik leleh, sehingga mengancam hamparan es yang luas di benua itu,” ujarnya.