Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

9 Puisi Sapardi Djoko Damono, Sastrawan Hujan Bulan Juni

Salsyabila Sukmaningrum , Jurnalis-Kamis, 14 September 2023 |19:20 WIB
9 Puisi Sapardi Djoko Damono, Sastrawan Hujan Bulan Juni
Puisi Sapardi Djoko Darmono (Foto: Freepik)
A
A
A

 

Pada Suatu Hari Nanti (1991)

Pada suatu hari nanti,

Jasadku tak akan ada lagi,

Tapi dalam bait-bait sajak ini,

Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,

Suaraku tak terdengar lagi,

Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,

Pada suatu hari nanti,

Impianku pun tak dikenal lagi,

Namun di sela-sela huruf sajak ini,

Kau tak akan letih-letihnya kucari.

Sajak Kecil Tentang Cinta (1984)

Hatiku selembar daun

melayang jatuh di rumput;

Nanti dulu,

biarkan aku sejenak terbaring di sini;

ada yang masih ingin kupandang,

yang selama ini senantiasa luput;

Sesaat adalah abadi

sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

Kuhentikan Hujan (1980)

Kuhentikan hujan

Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan

Ada yang berdenyut dalam diriku

Menembus tanah basah

Dendam yang dihamilkan hujan

Dan cahaya matahari

Tak bisa kutolak

Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga

Tentang Matahari (1971)

Matahari yang ada di atas kepalamu itu

Adalah balon gas yang terlepas dari tanganmu

waktu kau kecil, adalah bola lampu

yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat

yang teratur kauterima dari sebuah Alamat,

adalah jam weker yang berdering

saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan

yang dituding anak kecil itu sambil berkata:

“Ini matahari! Ini matahari!”

Matahari itu? Ia memang di atas sana

supaya selamanya kau menghela

bayang-bayangmu itu.

 BACA JUGA:

 

Sementara Kita Saling Berbisik (1966)

Sementara kita saling berbisik

untuk lebih lama tinggal

pada debu, cinta yang tinggal berupa

bunga kertas dan lintasan angka-angka

ketika kita saling berbisik

di luar semakin sengit malam hari

memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa

unggun api

sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi.

Akulah Si Telaga (1982)

 

akulah si telaga:

berlayarlah di atasnya;

berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil

yang menggerakkan bunga-bunga padma;

berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;

sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja

perahumu biar aku yang menjaganya.

(Marieska Harya Virdhani)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita edukasi lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement