Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Merawat Toleransi Beragama di Tengah Kemajemukan

Qur'anul Hidayat , Jurnalis-Rabu, 14 Juni 2023 |09:54 WIB
Merawat Toleransi Beragama di Tengah Kemajemukan
Foto: Dok Ist
A
A
A

JAKARTA - Universitas Paramadina bekerja sama dengan Al-Musthafa International University (Iran) & STAI Sadra didukung Paramadina Graduate School of Islamic Studies & Asosiasi Aqidah & Filsafat Islam mengadakan seminar internasional dengan tema: "Merawat Toleransi Beragama" pada Selasa, 13 Juni 2023.

Adapun pembicara dalam seminar tersebut adalah Guru Besar al-Mustofa International University, Iran Prof. Dr. Hossein Muttaghi; Guru Besar STF Driyarkara, Jakarta Prof. Dr. Franz Magnis Suseno; dan Guru Besar Universitas Paramadina Prof. Dr. Abdul Hadi WM.

Prof. Dr. Hossein Muttaghi mengatakan, moderatisme dan toleransi dalam Islam sangat penting dan bisa dipahami dari inti ajaran agama Islam berupa pesan-pesan Ketuhanan, dan juga karena faktor Tanah Air Indonesia itu sendiri. Ajaran agama Islam berisi 100% ajaran yang mengandung moderatisme dan toleransi.

“Indonesia juga sebagai negara yang punya sejarah panjang serta sejarah akan sikap dan nilai-nilai moderatisme dan toleransi itu sendiri. Moderatisme dalam Islam ketika masuk kepada bangsa Indonesia, maka dia berasimilasi menjadi sebuah kesatuan nilai yang tak terpisahkan,” ucap Prof. Dr. Hossein, dikutip Rabu (14/6/2023).

Selanjutnya dia mengatakan, sifat, karakter dan nilai moderatisme itu punya nilai akar sejarah yang panjang di Indonesia. Karena itu ketika Islam masuk ke Indonesia, masuk dengan damai dan bisa dengan mudah diterima dan juga terhubung dengan nilai-nilai moderatisme dan toleransi yang telah ada sebelumnya.

Untuk itulah, kata Prof. Dr. Hossein, ketika membahas moderatisme yang bisa digali dari berbagai ajaran Islam dari Alquran, pada saat yang sama juga bisa didapatkan dari nilai-nilai yang telah diyakini oleh bangsa Indonesia, maka tentu hal itu membentuk nilai dan model yang baru.

“Boleh jadi di banyak tempat para pemuda menggunakan kata yang kemudian menjadi terkenal itu (moderatisme) dan itu ada di mana-mana tapi banyak yang tidak mendalami dari konten yang terkandung dalam kata tersebut,” ujarnya.

“Maka itu seharusnya para mahasiswa dapat menggali dengan serius asal kata moderatisme, akarnya darimana, dan bagaimana kata moderat itu ada di dalam ajaran Al Quran, begitu pula dalam nilai-nilai sosial dan hal lain sehingga ketika moderatisme menjadi sebuah sikap kehidupan yang bisa dipahami dengan sebaik-baiknya dan bisa diamalkan,” sambungnya.

Begitu pula dengan kata Pancasila, lanjutnya, para mahasiswa dan dosen punya pengetahuan cukup tentang hal itu namun tidak demikian dengan masyarakat awam. Karena itu menjadi tugas para mahasiswa dan dosen untuk menggali lebih dalam Pancasila secara akademik, filosofi dalam sila-sila Pancasila untuk memahami maknanya secara mendalam.

Sementera itu, Prof Dr. Frans Magniz Suseno mengungkapkan ada dua jenis intoleransi ada dua. Pertama intoleransi biasa, yang sebetulnya tiada berkaitan dengan agama, tapi dengan kepicikan alami manusia yang curiga terhdap yang berbeda, menganggap saingan dan sebagainya. Perbedaan dirasakan sebagai ancaman.

“Intoleransi yang lebih serius berdasarkan pada ajaran agama sendiri. Di mana penolakan bahkan pada menyuruh tindak kekerasan terhadap penganut agama lain,” ujarnya.

Franz Magnis mengatakan dari realitas di Indonesia, harus diakui masih ada intoleransi, masih ada ketakutan keterpisahan antara umat-umat beragama dan kerap ada insiden-insiden yang memalukan. Misalnya pembakaran 1.500 pemukiman umat berbeda di satu wilayah.

“Tapi sebenarnya toleransi di Indonesia amat baik. Umat Katolik di Jawa hanya 1 persen namun merasa aman dan tidak bermasalah. Demikian pula mahasiswa Universitas Muhammadiyah di Kupang 90% beragama Kristen dan Katolik dan tidak ada masalah dengan kepercayaan mereka. Dalam 30 tahun terakhir hubungan NU dan Muhammadiyah semakin akrab. Saling menghargai, dan jika ada masalah maka umat katolik dapat berkomunikasi dengan NU dan Muhammadiyah,” ucap Franz Magnis.

Terkahir ada Prof Dr Abdul Hadi WM yang menyampaikan pandangannya. Dalam sejarah Internasional, pluralisme atau kemajemukan bukan monopoli masyarakat demokrasi atau liberal tapi telah ada dalam sejarah bangssa-bangsa di dunia ini.

Abdul Hadi mengatakan, ada 3 tuntutan di Indonesia terkait pentingnya toleransi. Pertama, realitas sosial historis bangsa Indonesia dan realitas historis bangsa Indonesia yang luar biasa majemuk. Ada ratusan suku bangsa hidup belum lagi orang-orang asing yang juga hidup berdampingan selama berabad abad.

Karenanya jika orang Indonesia berkonflik soal agama dan budaya maka akan hancur sendiri karena falsafah bangsa Indonesia sejak dulu sebelum Islam dan agama resmi lain ada, terdapat harmoni dan kerjasama masyarakatnya (ashobiyah). Kodrat bangsa Indonesia memang bukan untuk saling bersaing seperti dalam masyarakat liberal.

“Borobudur ada karena adanya harmoni dan gotong royong masyarakatnya. Begitu pula masjid masjid besar di Aceh. Satu keuntungan lain dari Indonesia adalah mayoritas suku Jawa yang memang mementingkan harmoni dan kebersamaan, kerjasama/gotong royong,” ucapnya.

Realitas lain, lanjut Abdul Hadi, dalah geografinya yang antar pulau. Menjadikan keanekaragaman terpelihara dan saling toleran. Islam di Madura (NU) meski secara kultural berbeda dengan Islam di Jawa tapi tetap tidak ada masalah. Kenyataan abangan di Jawa dan Hindu di Bali tidak pernah berkelahi karena masalah kepercayaan.

:Dunia modern sering memaksakan intipati agama pada legalitas formal tapi lupa bahwa agama mempunyai aspek batin yakni tasawuf dan syariah formal/fiqh. Di Indonesia munculnya gesekan-gesekan karena terlalu menekankan pada soal fiqh saja. Lupa bahwa dalam Islam terdapat aspek estetik Islam (sayyed Hossein Nasr). Para sufi berjasa karena menjadikan Islam sebagai agama yang indah, antara lain saluran-saluran kesenian yang dibawa oleh Islam ke Indonesia,” kata dia.

Islam bisa berkembang di India Selatan dan Nusantara antara lain oleh karena ada Qasidah Burdah yang membacakan syair puji-pujian kepada nabi Muhammad SAW dengan cara dinyanyikan. Juga, dengan dirayakannya orang yang wafat dengan tahlilan 7 hari. Orang Hindu yang melihat sangat tertarik karena mirip ajaran mereka.

“Media dakwah Indonesia saat ini jadi sangat verbal dan duniawi. tidak lagi menggunakan musik sebagai saluran dakwah dengan music religious,” sambungnya.

(Qur'anul Hidayat)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita edukasi lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement