Semua seri My Lovelybertema gelap dan ceritanya berpusat pada karakter perempuan - meskipun karakter utamanya dengan laki-laki. MLW, misalnya memuat pesan tentang hubungan toksik - bagaimana perempuan bisa terperangkap dengan pasangan yang kasar dan manipulatif.
Namun, menurut Riris, hal itu tidak ada kaitannya dengan feminisme tapi lebih merupakan bentuk representasi. "Itu lebih pada penyesuaian dengan desain game, cerita, dan pesannya," ujarnya.
Menurutnya, untuk bisa sukses di industri gim, tidak hanya perlu kemampuan teknis tetapi juga kemampuan analisis pasar dan komunikasi bisnis.
"Ada enggak orang yang mau beli game ini, berapa jumlahnya? Terus kalau saya modalnya segini, untungnya berapa? Itu kemampuan Anda menganalisis pasar, membaca data," ujarnya.
"Belum lagi urusan dengan orang luar, sama publisher. Kita juga harus punya skill komunikasi bisnis yang baik ketika berhadapan dengan orang-orang yang mau ber-partner," imbuhnya.
Selain itu, sambung Riris, hal yang tak kalah penting ialah komitmen untuk berkarier di industri gim.
"Jangan takut, harus punya keberanian yang nggak tanggung-tanggung. Tapi tentu saja keberanian itu sudah diikuti dengan analisis pasar, riset, hubungan yang bagus dengan pelaku bisnis global," kata Riris.
Namun demikian, langkah Riris terjun ke dunia gim pada usia yang tidak muda juga tidak mudah. Ia mengaku tantangan terbesarnya ketika memulai pada 2013 ialah kebingungan. Waktu itu, belum banyak studio game developer seperti sekarang. Kebanyakan perusahaan-perusahaan perintis (start-up) bergerak di bidang perdagangan alias e-commerce.
"Saya nggak tahu apa yang harus saya lakukan, dan saya enggak tahu siapa yang seharusnya saya tanya, siapa yang seharusnya saya hubungi. Kursus game enggak ada, bantuan dari pemerintah enggak ada, talenta-talenta pekerja enggak ada.
"Sementara diri sendiri bodohnya luar biasa, terus juga mau ke teman-teman developer belum sekompak sekarang. Jadi di awal modalnya internet saja," ucap Riris.
Sementara itu, tantangan juga datang dari kehidupan pribadinya. Karena harus menjalani dua pekerjaan, pagi sebagai pustakawan, lalu sore game developer. Kemudian pada awal kariernya di industri gim, Riris mengatakan rumah tangganya sempat terganggu
"Itu memang salah saya, kenapa saya kerja melulu, nggak memperhatikan suami saya," ujarnya.
Stigma seputar gim bahwa game bikin ketagihan, mengajarkan kekerasan, dan sebagainya juga sempat membuat orangtua dan suami Riris sempat meragukan pilihan karier yang dibuatnya.
Namun, seiring waktu, orang-orang di sekitar Riris akhirnya mengerti pilihannya. Tidak memiliki anak sendiri, ia dan suaminya sekarang memperlakukan para karyawan di GameChanger Studio sebagai anak-anak mereka.
Riris mengatakan, ia akhirnya memutuskan untuk mendedikasikan dirinya di industri gim karena jatuh cinta dengan pekerjaan game developer.
"Game itu adalah sebuah dunia fantasi yang kamu enggak bisa dapetin di dunia nyata. Menurut saya, bidang ini super duper menarik, super duper kompleks, super duper unlimited option, super duper unlimited experiment, super duper unlimited opportunities," ungkapnya.