YOGYAKARTA - Bilal Atmojoewana membesarkan bisnisnya dengan memberikan aneka kain batik ke kusir delman.
Tujuannya, agar para kusir itu bisa membantunya memamerkan kain batik buatannya ke pedagang dan penyalur. Trik itulah yang kemudian membuat Bilal menjadi pengusaha besar sekaligus dekat dengan Muhammadiyah.
Pemberian kain batik itu secara cuma-cuma alias gratis dan apabila Bilal mendapat pelanggan baru, para kusir itu akan mendapatkan hadiah. Siasat itu Bilal buat pada sekitar tahun 1900-an.
Muhammad Husnil dan Yudi Anugrah dalam buku Haji Bilal Atmojoewana Raja Batik Dari Yogyakarta menulis kehebatan CV Haji Bilal.
Bilal membuat orang-orang eropa memasukkan nama Bilal ke dalam daftar orang berpengaruh di Yogyakarta pada pertengahan 1912. Kala itu, Bilal masuk ke dalam jejaring The Big Five, gurita bisnis yang terdiri atas lima perusahaan Belanda di Hindia Belanda.
BACA JUGA:
Satu hal penting bagi Bilal, untuk berbisnis ia tak mau mengambil untung tebal-tebal. Slogannya, ‘untung sedikit, jual banyak’. Dalam perjalannya Bilal sempat pergi ke tanah suci, sehingga membuatnya disebut sebagai Haji Bilal.
Haji Bilal memulai usahanya di halaman belakang rumah pada 1898. Ia memulai usaha dari uang hasil berjualan jerami dan kayu. Kala itu, Haji Bilal hanya menjadi pemasok batik setengah jadi ke Haji Ibrahim, seorang pengusaha batik di Yogyakarta.
Namun, selain bicara bisnis, Haji Bilal sering berbicara tentang keagamaan, termasuk Gerakan Pemurnian Islam yang dipelopori KH Ahmad Dahlan.
“Atmojoewana sedang membangun usahanya saat berkenalan dengan Ahmad Dahlan. Atmojoewana langsung kepincut kepribadian Ahmad Dahlan,” tulis Husnil.
BACA JUGA:
Ahmad Dahlan memulai gerakan pembaruan bernama Muhammadiyah, sepulang dari Makkah pada 1890. Di kota suci itu, dia belajar soal pemurnian ajaran Islam dan menolak praktik bid'ah. Ahmad Dahlan juga menekuni ilmu Falak.
"Ia melihat kesungguhan Ahmad Dahlan dalam mengajarkan pengetahuan Islam dan menjalani nilai-nilai islami dalam keseharian. Ia juga mengikuti gerakan pemurnian Ahmad Dahlan," tulis Husni.
Kedekatan Bilal dan Muhammadiyah
Bilal sebenarnya bukan dari kalangan terdidik secara akademis, ia tak pernah sekolah maupun ikut pondok pesantren. Namun, perjalanan hidup membawanya dekat dengan Muhammadiyah. Ia pun menjadi saksi Muhammadiyah mendirikan sekolah, Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (MIDI) pada 1 Desember 1911.
Haji Bilal paham betul bagaimana Muhammadiyah berkembang hingga memiliki sekolah dari tingkat dasar hingga lembaga pendidikan tinggi. Ia kemudian sadar arti penting pendidikan. Hal itu pula yang membuatnya semakin akrab dengan orang-orang Muhammadiyah.
Follow Berita Okezone di Google News