Ia menambahkan bahwa peristiwa mudik ini tidak saja terkait dengan masalah komunikasi yang dapat digantikan dengan teknologi. Ada dimensi afeksi yang sangat kuat yang terkait dengan tradisi mudik.
“Teknologi hanya memenuhi aspek kognitif, tetapi tidak dapat memenuhi aspek afektif. Hal inilah yang menyebabkan tradisi mudik terus bertahan meski sudah ada teknologi komunikasi yang canggih sekalipun,” kata Zastrouw.
BACA JUGA:
Ia menilai tradisi mudik dapat bertahan karena memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional (psikologis) masyarakat.
"Kesibukan atas pekerjaan sehari-hari ditambah kerasnya kehidupan masyarakat di perkotaan, menjadikan mudik sebagai pilihan terapi psikologis," imbuhnya.
Zastrouw mengatakan dibutuhkan momentum untuk kanalisasi emosi sekaligus katarsis atas kejenuhan yang dirasakan. Tradisi ini menjadi momentum katarsis atas berbagai problem psikologis yang dirasakan oleh masyarakat modern urban.
Tak hanya terkait aspek budaya dan agama, mudik menjadi aktivitas traveling. Ia melihat mudik menjadi sarana traveling massal yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Seluruh moda transportasi digunakan, seperti mobil pribadi, pesawat terbang, kereta api, kapal laut, bus bahkan motor.
“Dengan kata lain, tradisi mudik menjadi momentum healing masyarakat modern. Inilah yang membuat tradisi ini tidak luntur digerus arus modernisasi, karena dapat menjadi kanalisasi atas residu budaya modernisasi,” ujar Zastrow.
( Muhammad Fadli Rizal)