Berdasarkan gapeka yang berlauku saat itu, KA 225 dijadwalkan tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 06.40 WIB untuk bersilang dengan KA 220 pada pukul 06.49 WIB.
Namun, pada kenyataanya, KA 225 terlambat 5 menit. Saat itu emplasemen Stadiun Sudimara yang memiliki tiga jalur telah ditafsirkan 'penuh' dan 'tidak dapat menerima persilangan kereta' karena:
- Jalur 1 dalam kondisi buruk dan hanya dipakai untuk langsiran dan sepur sompan
- Jalur 2 berisi KA barang 1035
- Jalur 3 berisi KA 225 yang berhenti
Karena Stasiun Sudimara sudah tidak dapat menerima persilangan antarkereta api, maka KA 225 harus meninggalkan Stasiun Sudimara untuk berhenti lagi di stasiun berikutnya, Kebayoran, dalam kondisi jalur masih tunggal dan tidak memiliki perhentian di antara keduanya. Sesuai dengan peraturan dinas, petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) Sudimara wajib:
- Menelepon PPKA Kebayoran untuk meminta izin memindahkan tempat persilangan; dan
- Mengirimkan Surat Pemindahan Tempat Persilangan (PTP) yang harus diserahkan langsung ke masinis dan kondektur KA 225.
Namun sayangnya, Surat PTP itu diserahkan tanpa memberikan izin terlebih dahulu kepada PPKA Kebayoran.
Bahkan PTP itu dikirimkan tidak sesuai prosedur karena diserahkan melalui seorang petugas pelayanan kereta api (PLKA) baru kemudian diserahkan kepada masinis dan kondektur KA 225.
Barulah setelah itu, PPKA Sudimara menelepon ke PPKA Kebayoran (Mad Ali) untuk meminta izin pindah tempat persilangan. Mad Ali menjawab, "Gampang, nanti diatur."
Pagi itu, terjadi pergiliran PPKA dari shift malam ke shift pagi. Saat serah terima shift tersebut, Mad Ali yang merupakan PPKA shift malam memberi tahu PPKA shift pagi (Umriyadi) bahwa KA 251, 225, dan 1035 belum tiba di Stasiun Kebayoran.
KA 251 sedang melaju ke arah Kebayoran untuk bersilang dengan KA 220.
Begitu KA 251 berhenti di Kebayoran, Umriyadi meminta izin memberangkatkan KA 220 ke PPKA Sudimara, Djamhari.
Namun, Djamhari menjawab, "Tunggu aman saya, saya lagi sibuk!"
Seharusnya sesuai prosedur yang ada, Djamhari harus menyatakan menolak memberikan izin keberangkatan bagi KA 220 dan mengabarkan bahwa ada kereta api yang harus berangkat dari Sudimara ke Kebayoran sesuai jadwal.
Dalam situasi Djamhari bingung, KA 225 mulai dipadati penumpang, serta banyak yang naik di lokomotif.
Begitu komunikasi antar-PPKA ditutup, Umriyadi justru memberangkatkan KA 220 dengan asumsi bahwa persilangan KA 225 tetap dilakukan di Sudimara.
Agar meyakinkan, Umriyadi menelepon ke Djamhari bahwa KA 220 sudah berangkat dari Stasiun Kebayoran.
Padahal PTP sudah telanjur diberikan kepada masinis dan kondektur KA 225.
Dengan kebingungan tersebut, Djamhari mengakali masalah ini dengan melangsir KA 225 dari jalur 3 ke jalur 1 Stasiun Sudimara.
Akhirnya Djamhari memerintahkan seorang petugas harian stasiun untuk melangsir. Perihal langsiran tersebut harus ditulis oleh PPKA dalam laporan harian masinis serta menjelaskannya secara lisan.
Petugas yang disuruh Djamhari itu pun dengan tangkas mengambil bendera merah dan slompret.
Saat akan dilangsir, masinis tidak dapat melihat semboyan yang diberikan, karena pandangan terhalang penumpang. Sebelum petugas itu mencapai kereta kira-kira 7 m, tiba-tiba kereta mulai bergerak tanpa perintah slompret, dan petugas stasiun berusaha menghentikan KA 225 dengan slompret tetapi usahanya sia-sia.