JAKARTA - Indonesia dikenal sebagai Marine Mega-Biodiversity terbesar di dunia. Hasil riset yang dilakukan oleh Puji Rahmadi, peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI), mengungkapkan bahwa nilai kekayaan laut di Indonesia ternyata mencapai Rp1.772 triliun.
Namun, potensi laut Indonesia terganggu akibat ancaman dari adanya illegal fishing. Penangkapan ikan secara ilegal atau illegal fishing dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah atau kegiatan perikanan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan.
Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti, mencatat bahwa kerugian negara akibat illegal fishing diperkirakan sekitar Rp101 triliun per tahunnya. Bahkan dalam konteks Indonesia, kejahatan illegal fishing menurut Susi, sering pula menjadi kendaraan bagi kejahatan lain, seperti penyelundupan manusia, penyelundupan obat-obatan dan perbudakan.
Baca Juga: Menteri Susi Tenggelamkan 28 Kapal Pencuri Ikan Dalam Waktu 6 Bulan di 2019
Melihat potensi kerugian yang cukup besar, diperlukan upaya penanganan kejahatan yang komprehensif untuk mengungkap dan meminalisir adanya illegal fishing di Indonesia. Sampai saat ini, perampasan kapal dan ikan sitaan masih menjadi upaya pengumpulan barang bukti.
Namun, belum dapat menguak aset-aset dibaliknya yang sangat kompleks dan keseluruhan pihak yang terlibat di dalamnya. Terlebih kemungkinan nilai dari barang bukti yang dikumpulkan masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan keuntungan dari illegal fishing yang sebelumnya sempat dilarikan oleh pelaku.
Dengan kebijakan tersebut sebenarnya kerugian Negara belum dapat dikembalikan. Kendatipun demikian, penanganan lebih lanjut pada kejahatan illegal fishing sejatinya dapat dilakukan dengan melihat dari bagaimana konteks kejahatan illegal fishing ini terjadi.
Apabila dilihat dari konteks kejahatannya, Illegal fishing dapat dikatakan sebagai bagian dari transnational organized crime, hal ini dikarenakan dalam kebanyakan kasus yang terjadi memiliki beberapa ciri yang serupa. Pertama, adanya kolaborasi lebih dari dua orang yang terlibat.
Baca Juga: Ada Rp36 Triliun Hasil Tangkapan Ikan Tidak Dilaporkan
Sebagaimana kita ketahui, operasi penangkapan ikan bukanlah upaya tunggal, operasi ini melibatkan nelayan itu sendiri, pemilik kapal, penyandang dana, dan pihak lainnya berkolaborasi dalam pembiayaan dan melaksanakan operasi penangkapan ikan, serta dalam penjualan akhir dari ikan tersebut.
Kedua, illegal fishing beroperasi dalam level internasional. Penangkapan ikan secara ilegal dapat terjadi di perairan satu negara, lintas batas atau di laut lepas. Ikan yang ditangkap secara ilegal diangkut dan dijual di berbagai negara.
Ketiga, pelaku kejahatan tersebut umumnya menggunakan berbagai strategi pencucian keuangan untuk menyembunyikan keuntungan dan hasil dari tangkapan ilegal mereka. Tentunya ada banyak tahapan dalam rantai pasokan industri perikanan dimana keuntungan dari penangkapan ikan secara ilegal dikelola sedemikian rupa sehingga tampak menjadi keuntungan yang legal dan sah, proses tersebut dikenal sebagai pencucian uang.
Dana gelap tersebut dapat diinvestasikan dalam infrastruktur (peralatan baru, pabrik, pengelahan ikan, kapal) atau dalam kepentingan operasional (penangkapan, memproses, dan transportasi).
Oleh karena prosesnya yang seringkali memicu atau melibatakan tindak pencucian uang, illegal fishing sebagai salah satu tindak pidana dalam bidang perikanan dan kelautan, dapat digolongkan sebagai predicate crime (kejahatan pidana asal) sebagaimana tercantum dalam UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 2 ayat 1.
Dengan demikian, sebagai upaya penanganan terhadap kejahatan illegal fishing, melalui pendekatan APU PPT (Anti Pencucian Uang, Pencegahan, dan Pendanaan Terorisme) dan metode follow the money (mengkuti aliran dana) dapat menelusuri lebih jauh dan lebih luas siapa saja pihak yang terlibat.
Selanjutnya, pendekatan ini tidak hanya sekedar perampasan barang bukti sebagaimana kebijakan penenggelaman kapal. Dengan adanya kebijakan perampasan hasil kejahatan diharapkan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan motivasi pihak-pihak yang terlibat untuk melakukan tindak pidana khususnya illegal fishing.
Upaya ini diharapkan tidak hanya sekedar mengungkap pelaku kejahatan namun juga dapat memutus rantai jaringan kejahatan dimana pendanaan menjadi salah satu kunci untuk setiap proses yang didalamnya terus berjalan. Terakhir, pendekatan ini diharapkan dapat menjadi sarana pengembalian kerugian Negara akibat adanya illegal fishing.
Salah satu bentuk konkrit terkait pendekatan APU PPT dan follow the money dalam kasus illegal fishing yaitu saat pengungkapan kasus penyeludupan benur lobster yang belum lama dipublikasikan.
Merujuk pada laporan yang diberikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang diperoleh dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dimuat oleh beberapa media nasional maupun lokal, ditemukan aliran dana ke dalam negeri sebesar Rp 300 miliar sampai Rp900 miliar dalam beberapa tahun terakhir.
Dana tersebut teridentifikasi berasal dari akun rekening bank dari Singapura lalu mengalir ke rekening di Batam dan Brunei Darussalam, disinyalir dana tersebut digunakan sebagai dana yang mendukung para pengepul untuk menyerap benur lobster dari nelayan.
Umumnya, pengepul berani membayar harga yang lebih tinggi, hal ini berdampak pada nelayan yang menjaring benur lobster secara berlebihan. Berdasarkan data KKP, terdapat 243 kasus penyeludupan benur lobster ke Vietnam sepanjang 2016-2018 serta Januari-April 2019.
Namun, jumlah tersebut hanya mencakup jumlah yang terdata karena berhasil digagalkan.Tidak termasuk dengan data kasus penyeludupan yang berhasil lolos dilakukan.
Pada dasarnya, tingginya pendanaan yang disalurkan kepada pengepul di desa-desa dan tingginya harga yang ditawarkan kepada nelayan, membuat penyeludupan benur lobster menjadi lebih sulit dihentikan. Namun, upaya mengikuti aliran dana ini cukup menjadi salah satu upaya yang signifikan selain dari upaya operasi penangkapan pelaku dan penyitaan benur lobster seludupan di beberapa daerah.
Terutama untuk mengungkap jaringan sindikat yang terlibat dan pihak-pihak yang menjadi penyokong dana dalam kasus penyeludupan benur lobster ataupun kasus illegal fishing lainnya.
Upaya penegakan hukum dari segala sisi ini perlu dilakukan, karena selain dampak dari illegal fishing yang memberikan kerugian miliaran rupiah bagi Negara, juga menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga sumber daya laut Indonesia.
Mawar Safhira Nadhila,
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
(Rani Hardjanti)