JAKARTA - Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) akan memfasilitasi perguruan tinggi swasta (PTS) yang berstatus ilegal untuk menjadi badan hukum pendidikan (BHP).
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Fasli Jalal mengatakan, PTS tersebut harus mengubah bentuknya menjadi badan hukum pendidikan masyarakat (BHPM) apabila tidak ingin dikatakan ilegal. Proses perubahan tersebut cenderung cepat dan mudah, bahkan Depdiknas siap membiayai pengurusan akta notaris.
"Kita akan dampingi PTS tersebut kalau ingin mengubah menjadi BHPM. Yang terpenting tidak membebani mereka," terangnya seusai jumpa pers soal Kompetisi Jembatan Indonesia dan Kontes Bangun Gedung Indonesia 2009 di Depdiknas Jakarta.
Fasli mengatakan, pihak Dikti akan terus mendampingi hingga proses perubahan bentuk tersebut selesai. "Intinya mereka dapat leluasa memproses ini dengan mudah. Salah satu solusi terbaiknya memang seperti itu," katanya. Sebelumnya diberitakan, sekira 700 yayasan yang membidangi usaha pendidikan belum melakukan daftar ulang ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum HAM).
Hal itu sesuai amanat Peraturan Pemerintah (PP) No 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) tentangYayasan. Peraturan ini merupakan penjabaran dari UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan UU No 28 Tahun 2004. Hingga batas akhir pendaftaran pada 6 Oktober 2008 lalu, banyak yayasan yang belum juga mendaftar ulang. "Kalau tidak mendaftarkan diri ke Depkum HAM, berarti status yayasan tersebut ilegal dan harus dibubarkan," kata Direktur Kelembagaan Ditjen Dikti Hendarman.
Ada tujuh poin penting yang diatur lebih lanjut dalam PP No 63/2008 tersebut, yaitu biaya pembuatan akta notaris pendirian yayasan, pendirian yayasan oleh orang asing, jumlah minimum kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri yayasan, dan pemakaian nama yayasan. Selain itu, dirumuskan pula tata cara pemberian bantuan negara kepada yayasan, tata cara penggabungan yayasan, serta tata cara dan syarat bagi yayasan asing yang hendak melaksanakan aktivitasnya di Indonesia.
Fasli mengatakan, Depdiknas tidak bisa serta-merta memberikan sanksi terhadap yayasan yang lalai tersebut. Hal ini dikarenakan pengelola PTS dinilai tidak melanggar dalam proses pembelajaran mahasiswa yang menuntut ilmu di sana, hanya saja status hukumnya dipertanyakan. "Wajar saja karena mereka dalam masa transisi UU tersebut. Makanya kita dorong agar mereka bisa menjadi BHPM," terangnya. Apalagi, lanjut dia, pemerintah tidak bisa menghilangkan begitu saja kontribusi para pengelola PTS tersebut yang telah membantu dunia pendidikan di Indonesia selama ini.
"Mereka telah menginvestasikan tanah, membangun gedung, menggaji dosen, dan lainnya. Ini kan sumbangan positif juga," ujar Fasli. Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Suharyadi menyarankan pemerintah mengeluarkan kebijakan baru terkait hal ini. Misalnya memberikan perpanjangan waktu bagi pihak yayasan untuk mendaftar ulang ke Depkum HAM. "Itu kalau memang realisasi UU BHP belum dilaksanakan," terangnya.
Namun, lanjut dia, apabila UU BHP sudah boleh dijalankan, Depdiknas harus mendorong yayasan tersebut mengubah diri menjadi BHP. "Ini biar kejadiannya tidak berlarut-larut, pemerintah harus cepat tanggap. Kasihan mahasiswanya karena tidak akan mendapatkan ijazah yang sah," terang Suharyadi. Jumlah PTS,menurut dia, ada sekira 2.850 buah. Namun, bukan berarti yayasan yang bergerak di bidang pendidikan sebanyak itu. "Karena ada yayasan yang menaungi dua PTS. Jadi, jumlah yayasannya paling tidak 2.500 yayasan," kata Suharyadi.
Suharyadi mengatakan, PTS-PTS besar dengan kondisi bagus sudah mengikuti aturan perundangan tersebut. Menurut Suharyadi, banyak alasan yang melatarbelakangi pengelola yayasan tersebut enggan mendaftarkan diri.
Di antaranya masih menunggu waktu realisasi UU BHP atau merasa belum memenuhi syarat-syarat yang diharuskan dalam UU.
(M Budi Santosa)