JAKARTA - Dalam dunia yang semakin kompleks dan serba cepat seperti sekarang, krisis bisa muncul kapan saja dan dari mana saja. Dalam hitungan menit, sebuah isu kecil dapat berubah menjadi badai besar yang mengguncang kredibilitas, kepercayaan, bahkan keberlangsungan suatu organisasi.
Di tengah ketidakpastian seperti ini, kemampuan untuk mengenali krisis sejak dini, mengidentifikasinya dengan tepat, serta membangun strategi komunikasi krisis yang efektif, menjadi faktor kunci yang menentukan apakah suatu entitas mampu bertahan atau justru runtuh.
Secara etimologis, kata "krisis" berasal dari bahasa Yunani krisis yang berarti “keputusan” atau “pemisahan”. Dalam praktiknya, krisis adalah situasi yang mengganggu stabilitas normal dan menuntut respons cepat, akurat, dan terarah.
Krisis merupakan keadaan masa gawat atau genting yang menunjukkan situasi sebuah perusahaan ada di titik baik atau sebaliknya. Jika krisis dapat ditangani dengan baik dan tepat waktu, maka akan mengarah pada keadaan membaik. Begitu juga sebaliknya, jika diabaikan atau tidak segera ditangani, maka akan memburuk dan bahkan akan berakibat fatal. Krisis datang dengan tiba-tiba jadi sebelum krisis terjadi, perusahaan harus beragam skenario untuk menghadapi krisis yang akan terjadi (Kiambi & Shafer, 2016).
Dalam konteks komunikasi, krisis adalah peristiwa yang berpotensi atau benar-benar merusak reputasi dan kepercayaan publik terhadap suatu organisasi. Misalnya: Kebocoran data pelanggan pada perusahaan digital, skandal etika di lembaga publik, ucapan kontroversial dari tokoh Perusahaan di media sosial, bencana alam yang memengaruhi pelayanan publik.
Ciri khas dari krisis komunikasi adalah tingginya ketidakpastian, waktu yang terbatas untuk merespons, serta potensi kerusakan reputasi yang luas. Maka dari itu, mengenali krisis sejak dini bukan hanya tindakan preventif, tetapi bentuk tanggung jawab terhadap pemangku kepentingan dan masyarakat.
Dalam dinamika komunikasi organisasi modern, proses identifikasi krisis tidak lagi dianggap sebagai langkah tambahan yang dilakukan hanya ketika masalah sudah terlihat. Sebaliknya, ia merupakan tahapan awal yang sangat strategis, yang menentukan bagaimana organisasi mampu membaca sinyal bahaya, merespons secara adaptif, dan menjaga reputasi di mata publik. Proses identifikasi krisis tidak hanya dilakukan ketika krisis sudah "meledak". Justru, tahapan ini sebaiknya terjadi jauh sebelum krisis terjadi, sebagai bagian dari manajemen risiko dan komunikasi strategis.
1. Pemantauan Isu (Issue Monitoring)
Langkah pertama dari proses identifikasi krisis adalah pemantauan isu secara aktif terhadap segala bentuk informasi dan percakapan yang terjadi di dalam dan di luar organisasi. Hal ini mencakup: Media massa, Media sosial, Forum public, Keluhan pelanggan, Laporan internal. Melalui pemantauan ini, gejala awal krisis bisa dikenali—misalnya meningkatnya sentimen negatif atau munculnya opini yang viral.
2. Penilaian Potensi Krisis
Tidak semua isu akan menjadi krisis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian:
• Apakah isu ini menyentuh nilai-nilai utama organisasi?
• Apakah berdampak pada publik luas atau hanya kelompok kecil?
• Seberapa cepat isu ini berkembang?
Penilaian ini membantu menentukan tingkat urgensi dan strategi yang diperlukan.
3. Klasifikasi Krisis
Krisis dapat diklasifikasikan untuk membantu penyusunan rencana tanggap. Beberapa jenis krisis meliputi:
• Krisis operasional: gangguan layanan atau produksi
• Krisis etika: pelanggaran norma atau moral
• Krisis teknologi: kegagalan sistem atau keamanan siber
• Krisis reputasi: citra perusahaan terganggu akibat isu publik
4. Identifikasi Pihak Terkait
Siapa saja yang terdampak? Apakah pelanggan, mitra kerja, regulator, atau publik umum? Mengetahui siapa yang perlu dilibatkan atau ditenangkan adalah bagian penting dalam perencanaan komunikasi.
5. Persiapan Komunikasi Krisis
Jika krisis teridentifikasi, organisasi harus menyiapkan:
• Tim komunikasi krisis
• Protokol penyampaian informasi
• Saluran komunikasi (website, media sosial, press release)
• Naskah pernyataan publik
• Strategi menghadapi media
Setelah krisis teridentifikasi, tantangan terbesar adalah bagaimana mengelola persepsi publik dan menjaga kepercayaan. Di sinilah seni dan strategi komunikasi krisis diuji. Tiga prinsip utama komunikasi krisis antara lain:
1. Transparansi dan Kejujuran
Menyampaikan kebenaran, bahkan jika itu pahit, akan lebih dihargai publik dibandingkan manipulasi informasi. Kebohongan atau penundaan informasi hanya akan memperbesar kekecewaan dan menciptakan ketidakpercayaan yang lebih dalam.
2. Kecepatan dan Ketepatan
Waktu adalah faktor krusial. Dalam dunia digital, keterlambatan beberapa jam bisa membuat krisis tak terkendali. Organisasi harus memiliki jalur komunikasi cepat, tetapi tetap akurat dan tidak terburu-buru memberikan janji yang tidak bisa ditepati.
3. Empati dan Tanggung Jawab
Menunjukkan kepedulian terhadap pihak yang terdampak akan memperkuat citra positif organisasi. Kalimat seperti "Kami memahami kekecewaan Anda dan kami bertanggung jawab sepenuhnya" memiliki kekuatan moral yang besar.
Krisis tidak selalu bersifat destruktif. Bila dikelola dengan baik, krisis bisa menjadi:
• Momen refleksi: Menyoroti kelemahan sistem internal atau pola komunikasi yang perlu diperbaiki.
• Pemicu perubahan positif: Melahirkan reformasi kebijakan, standar kerja baru, atau budaya organisasi yang lebih adaptif.
• Kesempatan membangun kepercayaan: Organisasi yang mampu merespons dengan elegan dan tanggung jawab sering kali mendapat simpati dan dukungan baru.
• Sumber pembelajaran: Membangun pengalaman kolektif dan dokumentasi protokol krisis yang dapat digunakan di masa depan.
Pada April 2023, Batik Air menghadapi krisis reputasi setelah beredarnya video penumpang yang mengeluhkan kondisi dalam kabin pesawat yang pengatur suhu (AC)-nya tidak berfungsi. Insiden ini terjadi saat pesawat dalam kondisi parkir sebelum lepas landas di Bandara Kuala Lumpur menuju Jakarta.
Penumpang merasa tidak nyaman karena kabin terasa panas dan pengap, sebagian bahkan memprotes awak kabin. Video insiden ini viral di media sosial, memicu opini negatif dan menuntut respons dari pihak maskapai.
Batik Air merespons melalui perwakilan Corporate Communication Strategic, Danang Mandala Prihantoro, yang secara terbuka meminta maaf kepada seluruh penumpang atas ketidaknyamanan tersebut. Pernyataan ini segera disampaikan ke media.
Maskapai menyampaikan bahwa pesawat dalam kondisi laik terbang, dan gangguan AC terjadi karena pesawat masih di darat dan sistem udara tambahan (Ground Air Conditioning) sedang tidak aktif maksimal. Saat mesin utama belum dinyalakan, sirkulasi udara bergantung pada alat bantu. Maskapai juga menegaskan bahwa keselamatan penumpang tidak terganggu, karena AC berfungsi kembali setelah pesawat lepas landas. Ini penting untuk meredakan kekhawatiran publik terhadap aspek keselamatan penerbangan.
Dalam krisis seperti kasus AC mati di pesawat Batik Air, respons komunikasi harus mencakup tiga hal utama:
1. Empati: menyampaikan bahwa pelanggan adalah prioritas.
2. Klarifikasi: menyampaikan fakta dan penjelasan teknis secara ringkas dan mudah dipahami.
3. Tindak lanjut: memperjelas apa yang akan dilakukan untuk mencegah insiden serupa.
Batik Air telah melakukan langkah awal dengan baik, tetapi peningkatan pada sisi komunikasi internal dan langkah lanjutan publik sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kepercayaan jangka panjang.
Oleh :
Fadhilah Nur Sabriani Mokoagow
Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi
UPN Veteran Jakarta
(Dani Jumadil Akhir)