JAKARTA - Katanya jadi dewasa itu sulit, bener ga sih?
“Takut tambah dewasa, takut aku kecewa…”
Kayanya lirik itu udah menggambarkan betapa jadi “dewasa” itu punya stereotype yang terkesan berat, susah, dan melelahkan.
Makin ke sini tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan kita makin berubah seiring usia yang semakin bertambah pula. Bagi anak muda usia 20an, perubahan hidup ini mulai terasa, dan di masa-masa inilah puncak-puncak gonjangan kehidupan akan terasa bedanya.
Di masa kecil kehidupan kita mungkin hanya disibukkan dengan bermain dan melakukan hal-hal yang kita suka, main kesana-sini, dan tertawa sepanjang hari. Memang terkesan monoton, tetapi jika dilihat dari kacamata orang dewasa, rasanya jadi anak kecil itu menyenangkan ya? Tidak perlu bingung memikirkan ini dan itu, tidak ada kesibukan, ya intinya, tidak banyak beban yang harus ditanggung.
Mengalir begitu saja. Jadi anak kecil itu menyenangkan, karena tidak perlu merisaukan hal-hal besar, juga karena mereka tidak punya tanggung jawab yang berarti. Dirinya bebas melakukan apa yang di mau.
Meski begitu, banyak dari kita yang dulu ketika masih kecil ingin cepat-cepat jadi dewasa. Tidak menyadari kalau jadi orang dewasa itu tak seindah yang dibayangkan.
Dilansir dari artikel MIT Edu, masa peralihan remaja-dewasa dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu Adolescence/Masa remaja (dimulai saat pubertas hingga usia 18 tahun), Young Adulthood/Masa dewasa muda (dimulai saat usia 18 hingga 22 atau 18 hingga 25), dan Late Adulthood/Masa dewasa lanjut (umumnya dimulai saat pertengahan usia 20-an ke atas). Mereka yang memasuki masa dewasa juga mengalami perubahan yang dramatis, terutama pemikiran.
Pemikiran ini tidak hanya sebatas mengenai apa yang dipikirkan, tetapi juga menyangkut bagaimana berpikir dan berespon terhadap berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar, terutama hal-hal abstraks kompleks seperti masalah hubungan dan moral kehidupan yang biasanya tidak terpikirkan ketika masih anak-anak.
Berbagai masalah yang dihadapi juga menuntut seorang individu yang telah dewasa untuk bisa menyikapinya secara “dewasa” pula, yang ini artinya berbagai tantangan kehidupan harus disikapi secara bijak dan penuh tanggung jawab.
Tetapi bagi sebagian orang yang belum siap menjadi dewasa, atau dalam kata lain masih di ambang batas antara remaja dan dewasa, mereka cenderung kebingungan dan kekacauan ketika dihadapkan dengan permasalahan hidup yang kompleks. Sehingga tak jarang, kaum muda-mudi saat ini rentan mengalami apa yang disebut “quarter life crisis”.
Quarter-life crisis adalah suatu periode ketidakpastian dan pencarian jati diri yang dialami individu pada saat mencapai usia pertengahan 20 hingga awal 30 tahun (Bradley University, 2022). Pada periode ini, individu dihantui perasaan takut dan khawatir terhadap masa depannya, termasuk dalam hal karier, relasi, dan kehidupan sosial (Aristawati, Meiyuntariningsih, Cahya, & Putri, 2021).
Individu menjadi cemas, frustasi, dan kehilangan arah. Selain itu, Perasaan negatif ini jika tidak diatasi dapat mengganggu kesehatan mental.
Menurut data dari Cognitive Behavioral Consultants/CBC Psychology (2020), 50% dari semua penyakit mental dimulai pada usia 14 tahun, dan 75% dimulai pada usia 24 tahun. Selain itu, hampir 30% usia dewasa muda mengalami gangguan kesehatan jiwa, dibandingkan dewasa tengah (25%) dan dewasa lanjut (14%).
Lebih lanjut, sebanyak 8,9 juta orang dewasa muda yang dilaporkan mengalami penyakit mental pada tahun 2018, lebih dari dua per lima nya tidak diobati. Gangguan ini mungkin berimbas pada memburuknya kualitas kehidupan yang pada akhirnya jika tidak tertangani akan berakhir pada kasus bunuh diri. Bunuh diri menjadi penyebab utama kematian kedua pada orang berusia 10 hingga 34 tahun.