Pada awal pembukaannya tahun 1970-an, terdapat 300 orang WTS dengan 76 orang germo.
Jumlah ini terus bertambah seiring bertambah bulan dan tahun. Menjelang akhir ditutupnya Lokres Kramtung tahun 1999, jumlahnya mencapai 1.615 orang WTS di bawah asuhan 258 orang germo/mucikari.
Mereka tinggal di 277 unit bangunan yang memiliki 3.546 kamar.
Artinya, lokalisasi ini tumbuh dan berkembang dengan pesat yang akhirnya menimbulkan masalah baru pada masyarakat di lingkungan sekitarnya dan sekaligus citra Jakarta yang tidak bisa dipisahkan dari sejarahnya sebagai sebuah kultur Betawi yang sangat identik sebagai komunitas Islam yang terbuka, bersemangat multikultur, toleran dan sangat mencintai Islam sebagai identitas utama kebudayaan mereka.
Kondisi demikian ini menimbulkan desakan yang tidak henti-hentinya dari ulama dan masyarakat agar Panti Sosial Karya Wanita (PKSW) Teratai Harapan Kramat Tunggak ditutup.
Adanya desakan yang semakin menguat tersebut pada akhirnya dilakukan penelitian oleh Dinas Sosial bersama Universitas Indonesia untuk tentang sejauhmana penolakan masyarakat terhadap PKSW Teratai Harapan Kramat Tunggak.
Dari hasil penelitian tersebut, pada tahun 1997 direkomendasikan agar Lokres tersebut ditutup. Pada tahun 1998 dikeluarkan SK Gubernur KDKI Jakarta No. 495/1998 tentang penutupan panti sosial tersebut selambat-lambatnya akhir Desember 1999.
Pada 31 Desember 1999, Lokres Kramat Tunggak secara resmi ditutup melalui SK Gubernur KDKI Jakarta No. 6485/1998.
Selanjutnya Pemda Provinsi DKI Jakarta melakukan pembebasan lahan eks lokres Kramat Tunggak.
Setelah dibebaskan banyak muncul gagasan terhadap lokasi bekas Kramat Tunggak tersebut, ada yang mengusulkan pembangunan pusat perdagangan (mal), perkantoran dan lain sebagainya.
Namun Gubernur H. Sutiyoso memiliki ide lain yaitu membangun Islamic Centre. Sebuah ide yang cemerlang yang menyatukan kelompok-kelompok lain yang awalnya berbeda-beda.
Pada tahun 2001 Gubernur Sutiyoso melakukan sebuah Forum Curah Gagasan dengan seluruh elemen masyarakat untuk mengetahui sejauhmana dukungan masyarakat terhadap sebuah perubahan yang telah dicanangkan.
Ternyata 24 Mei 2001 dukungan itu semakin menguat. Gagasan untuk membangun Jakarta Islamic Centre (JIC) dikemukakan Gubernur Sutiyoso kepada Profesor Azzumardi Azra (Rektor UIN Syarif Hidayatullah) di New York di sela-sela kunjungannya ke PBB pada tanggal 11-18 April 2001 dan mendapatkan respons yang sangat positif.
Setelah adanya konsultasi terus menerus antara masyarakat, ulama, praktisi baik skala lokal maupun regional bahkan international akhirnya diwujudkan dalam sebuah master plan pembangunan JIC pada tahun 2002.
Kemudian dalam rangka memperkuat ide dan gagasan pembangunan JIC, pada Agustus 2002 dilakukan Studi Komparasi ke Islamic Centre di Mesir, Iran, Inggris dan Prancis.
Pada tahun yang sama, dilakukan perumusan Organisasi dan Manajemen JIC. Kehadiran JIC ternyata sesuatu yang sangat fenomenal sebagai produk zaman yang strategis dan monumental.