Cerita Cristo dan Surya, Mahasiswa Tunarungu Asal Indonesia yang Berprestasi di Amerika

Agregasi VOA, Jurnalis
Senin 15 Juli 2019 16:45 WIB
Cristo dan Surya (Foto: VoA)
Share :

Harapan Agar Indonesia "Ramah Disabilitas"

Tinggal di Amerika telah membuat Cristo menjadi mandiri. Di kala musim panas dan akhir tahun, Cristo harus membiayai hidup sendiri karena tidak masuk ke dalam anggaran beasiswa, dengan bekerja asisten periset dan mahasiswa. Tidak hanya itu, ia bisa mendapatkan akses sebagai Tuli yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya.

"Saya bisa menelpon restoran untuk membuat reservasi atau memesan makanan dengan berkomunikasi lewat video. Saya juga bisa menyelesaikan urusan saya sendiri dengan bank, rumah sakit, dan organisasi melalui layanan video, tanpa bergantung dengan orang tua dan orang dengar. Kita tinggal di era teknologi maju dan kita harusnya bisa memanfaatkan teknologi," ujarnya.

Menurut Surya, orang di Indonesia perlu belajar bahasa isyarat dasar dan tidak perlu panik ketika harus berinteraksi dengan orang Tuli. Jika tidak menggunakan bahasa isyarat dasar, mereka bisa menyiapkan kertas untuk berkomunikasi.

"Harapan saya bahwa komunitas Tuli dapat mengakses masyarakat melalui bahasa isyarat dan teks bahasa Indonesia, serta ikut terlibat dalam pembangunan Indonesia lebih baik," harapnya.

Sejak balita, Surya memang sudah mulai belajar bahasa isyarat. Almarhum kakanya, Gisca yang juga tuli kerap mengajarinya.

"Sebenarnya saya bisa memahami bahasa isyarat, tetapi tidak menggunakannya karena mindset saya masih polos saat itu, bahwa bahasa isyarat menghambat kemampuan berbicara. Padahal sebenarnya itu tidak benar," ujar Surya yang pernah menjadi siswa di SD khusus disabilitas pendengaran di Jakarta Barat.

Di usianya yang ke-8 tahun, Surya mulai belajar berbicara di rumah dan sekolah. Latihan yang biasa ia lakukan bersama sang ibu ini bisa berlangsung selama berjam-jam, untuk bisa melafalkan kata demi kata.

"Bersama ibuku, saya berhasil melafalkan 'pulang' setelah beberapa jam mengucapkan 'pula' tanpa 'ng.' Setelah berhasil melafalkan, maka saya bisa bermain seperti biasa," kenang Surya.

Saat SMP, Surya mencari pengalaman baru dengan bersekolah di SMP Pembangunan Jaya di Bintaro, Tangerang Selatan.

"Disana, saya satu-satu siswa Tuli dan mengalami banyak tantangan lama berinteraksi terutama bagaimana memahami guru dengan kemampuan baca bibir. Apalagi, setiap guru memiliki gerakan bibir yang berbeda-beda sehingga saya harus beradapatasi setiap guru. Syukurlah, mereka sangat mendukung saya," ujar Surya.

Cristo juga merasakan tantangan yang besar saat sekolah di Indonesia. Sebagai siswa Tuli di Indonesia ia mendapatkan kurikulum sekolah yang rendah. Hal ini membuatnya frustrasi, karena harus belajar lagi sendiri. Menurutnya, Tuli hanya memerlukan bantuan penerjemah profesional yang memenuhi kualifikasi.

Selain itu, Cristo menambahkan Indonesia juga membutuhkan program pendidikan awal bilingual bahasa Indonesia dan Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia) untuk anak-anak Tuli. Akses bagi Tuli di Indonesia juga sangat penting. Pendidikan mengenai akses yang diperlukan untuk Tuli perlu ditingkatkan.

"Contohnya, saya sebagai Tuli dan membutuhkan bantuan penerjemah, tapi malah diberikan kursi roda," ujar Cristo yang kini tengah berencana untuk menekuni program S2 dan S3 di bidang ilmu anatomi.

Tidak hanya bercita-cita sebagai profesor di bidang anatomi, Cristo juga ingin menjadi pelopor bagi komunitas Tuli di Indonesia yang tertarik dengan bidang medik dan STEM. Ia berharap bisa membuka jalan dan menginspirasi anak-anak Tuli.

"Saya ingin menjadi sosok panutan untuk anak-anak Tuli yang ingin menjadi dokter atau bergerak di bidang kesehatan," katanya.

Setelah melihat sendiri dan menempuh dunia pendidikan di Amerika, Surya berharap Indonesia bisa mengembangkan kebijakan yang ramah disabilitas, termasuk Tuli, khususnya di bidang pendidikan.

"Seperti pengembangan tenaga ajar Tuli dan dengar yang fasih berbahasa isyarat yang diterima komunitas Tuli. Kurikulum Pendidikan Tuli dan dengar perlu disetarakan dengan catatan bahwa adanya pengembangan jumlah pengajar Tuli yang berkualitas," ujar Surya.

Satu pesan dari Surya untuk Indonesia:

"Kita memang berbeda, bukan berarti kita tidak bisa bersatu untuk membangun Indonesia agar (menjadi) negara yang ramah disabilitas."

(Rani Hardjanti)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Edukasi lainnya