KALEIDOSKOP 2016: Dilema Pendidikan Vokasi di Indonesia

Iradhatie Wurinanda, Jurnalis
Jum'at 23 Desember 2016 11:04 WIB
Foto: Ilustrasi Okezone
Share :

JAKARTA - Hadirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menuntut generasi muda bisa bersaing tak hanya di kancah nasional, tetapi juga internasional. Dalam hal ini, peran pendidikan vokasi turut dianggap penting. Pasalnya, pendidikan vokasi merupakan pencetak lulusan terampil siap kerja yang akan mengisi sektor-sektor industri, sehingga tak didominasi tenaga kerja asing.

Pada tingkat perguruan tinggi, pendidikan vokasi diselenggarakan oleh politeknik dengan berbagai fokus studi. Kendati demikian, keberadaan politeknik belum mampu mengakomodir kebutuhan industri lantaran lulusannya kurang memenuhi kualifikasi yang diminta.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) mengungkapkan, pendidikan vokasi memang perlu direvitalisasi. Sejalan dengan itu, para dosen juga harus digembleng supaya tidak hanya hafal teori, tapi juga diselingi kemampuan praktik yang baik.

"Caranya bagaimana? Nanti kami akan training mereka di perguruan tinggi tertentu yang dia punya vokasi di level doktor atau master. Kalau di Indonesia tidak ada, nanti cari di luar negeri. Output-nya mereka diharapkan mendapat sertifikasi sebagai ahli dalam bidang masing-masing," tuturnya dalam kuliah umum di Polman Bandung, belum lama ini.

Nasir mengatakan, pendidikan vokasi harus dekat dengan industri. Sehingga, ke depan pengajar politeknik tak hanya dari kalangan akademisi melainkan juga dari industri. Oleh sebab itu, bagi yang dari industri dan belum S-2 akan ada kualifikasi kompetensi terlebih dahulu. Sedangkan lulusan politeknik sendiri bisa menjadi tenaga pengajar di sekolah vokasi.

"Tetapi lulusan harus berkualitas untuk menjadi guru produktif. Nanti kami bekerjasama dengan Kemdikbud untuk kebutuhannya," sebutnya.

Selama ini, lanjut Nasir, pembelajaran di pendidikan vokasi belum sepenuhnya berdasar pada praktik. Untuk itu, pihaknya telah mengonsepkan pembelajaran sistem 3+2+1. Rinciannya, tiga semester di kampus, dua semester di industri, dan satu semester akhir di kampus atau industri. Artinya, proporsi pembelajaran meliputi 70 persen praktik dan 30 persen teori.

"Sudah ada tiga contoh politeknik yang melakukannya. Misalnya Polimari Semarang yang bermitra dengan Pelindo, Polman Bandung dengan 100 industri manufaktur, dan ATMI Surakarta dengan Astra," terangnya.

Dia menambahkan, saat ini terdapat lebih dari 200 politeknik di Indonesia. Nasir menyebut, telah menyiapkan anggaran Rp200 miliar untuk keperluan revitalisasi politeknik negeri tahun depan. Adapun jumlah politeknik yang akan direvitalisasi pada tahap awal, yakni 12 politeknik.

"Karena ini masih mindset baru. Kami hanya ingin meningkatkan dulu (12 politeknik). Kami belum bisa menargetkan berapa jumlahnya . Tapi politeknik di Indonesia harus menuju pada vokasi yang profesional," tukasnya.

(Susi Fatimah)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Edukasi lainnya