JAKARTA – Universitas YARSI mengadakan Dies Natalis ke-57, sebagai upacara perayaan wisuda tahun ajaran ganjil 2023/2024 pada hari ini, Sabtu (27/4/2024).
Tahun ini, Universitas YARSI kembali mencetak 411 wisudawan terbaiknya. Acara tersebut turut dihadiri oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi Abdul Haris. Dalam kesempatan ini, Haris menyampaikan orasi ilmiahnya.
“Kami akan mulai dari tantangan. Pendidikan tinggi adalah sebuah tugas dan amanah dari Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara dituntut untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, dalam pelaksanaannya pendidikan tinggi dihadapkan pada tantangan yang begitu besar,” ujar Dirjen Diktiristek Abdul Haris pada Dies Natalis di Jakarta, Sabtu (27/4/2024).
Ia menyampaikan ada tiga tantangan besar yang dihadapi oleh perguruan tinggi dalam mencerdaskan bangsa. Yang pertama adalah akses, menurutnya akses terhadap perguruan tinggi saat ini belum terlalu inklusif untuk semua.
“Yang pertama terkait dengan akses. Berdasarkan data dari Dirjen Diktiristek, angka partisipasi kasar saat ini masih sekitar 30-40%. Artinya masih ada keterbatasan bagi siswa-siswi untuk bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Keterbatasan akses ini semakin lebar apabila kita lihat pada penyandang disabilitas. Hanya sekitar 2,8% yang bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi,” papar Haris.
Lalu, lanjut dia tantangan yang kedua adalah ketimpangan kualitas. Indonesia memiliki banyak sekali perguruan tinggi namun hanya sedikit dari perguruan tinggi tersebut yang memiliki akreditasi unggul.
“Tantangan yang kedua adalah ketimpangan kualitas. Saat ini kita memiliki hampir 4356 perguruan tinggi. Ini terdiri dari 349 PTN dan 4007 PTS. Tentu terjadi ketidaksetaraan dalam kualitas. Kalo kita lihat dari sisi kualitas ternyata hanya sekitar 2% yang memiliki akreditasi unggul,” ungkap Haris.
Tantangan yang terakhir berkaitan dengan relevansi pendidikan tinggi. Menurutnya saat ini terjadi celah antara dunia akademis dengan kebutuhan dunia industri.
“Tantangan yang ketiga adalah relevansi pendidikan tinggi. Relevansi menjadi kunci untuk mempersempit jurang atau gap dari mismatch antara dunia akademik dengan dunia industri. Kita sering menyebut sebagai less relevance of higher education. Perubahan landscape job market dunia yang begitu cepat menjadi tantangan sehingga perguruan tinggi harus beradaptasi dengan sangat cepat. Pendidikan tradisional secara perlahan harus kita tinggalkan,” kata Haris
Dia menambahkan bahwa hanya dengan mengantongi ijazah sarjana tidak cukup bagi para fresh graduate untuk mencari pekerjaan. Mereka harus bisa mengikuti perubahan zaman dan memperbarui skill mereka sesuai dengan kebutuhan dunia industri.
“Sekarang mahasiswa dengan modal ijazah atau sertifikat itu tidak cukup. Tapi harus memiliki keterampilan atau skill yang memang dibutuhkan di dunia kerja. Disamping munculnya skill skill baru yang dibutuhkan dalam dunia kerja, sekarang sudah masuk ke zaman artificial intelligence. Kita harus mempersiapkan lulusan kita dengan kemampuan literasi digital agar mereka juga mampu menghadapi persaingan global di dunia kerja,” imbuhnya.
Terakhir sebagai penutup dari orasi ilmiahnya, Haris mengucapkan selamat kepada para wisudawan karena sudah menamatkan perguruan tinggi.
“Sekali lagi selamat kepada adik-adik semua dan selamat pada bapak ibu semua yang telah mengantarkan putra-putri menyelesaikan pendidikannya di Universitas YARSI,” tutur Haris.
(Taufik Fajar)